Kamis, 28 Januari 2010

Orang Tua dan Pendidikan Moral Bagi Anak

Orang Tua dan Pendidikan Moral Bagi Anak
A. Orang Tua dan Pendidikan Moral Anak
Kewajiban Orang Tua
Membina Kepribadian Anak
Dalam membina kepribadian anak orang tua hendaknya memahami dorongan-dorongan serta kebutuhan anak baik secara psikis maupun fisik dan dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga target dalam mengasuh anak akan tercapai sebagaimana yang diinginkan.
Menurut Zakiah Daradjat, orang tua adalah pembina pribadi yang pertama dalam hidup anak. Kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup mereka merupakan unsur-unsur pendidikan yang tidak langsung, yang dengan sendirinya akan masuk ke dalam pribadi anak yang sedang bertumbuh itu.
Senada dengan pendapat di atas, Abu Ahmadi mengatakan bahwa orang tua mempunyai peranan yang pertama dan utama bagi anak-anaknya untuk membawa anak kepada kedewasaan, maka orang tua harus memberi contoh yang baik karena anak suka mengimitasi pada orang tuanya.
Adapun eksistensi orang tua sebagai pendidik yang utama dan pertama dalam meletakkan dasar-dasar pendidikan anak menurut Abdullah Nasih Ulwan adalah:
“Orang pertama dan terakhir yang bertanggung jawab mendidik anak dengan keimanan dan akhlak, membentuknya dengan kematangan intelektual dan keseimbangan fisik dan psikisnya serta mengarahkannya kepada kepemilikan ilmu yang bermanfaat dan bermacam-macam kebudayaannya adalah orang tua”.
Adapun kewajiban utama orang tua sebagai pendidik dalam keluarga menurut Abdurrahman al-Nahlawi ada dua, yaitu:
1. Membiasakan anaknya supaya senantiasa mengingat keagungan dan kebesaran Allah dengan mengajak mereka untuk memikirkan atau mentafakkuri segala ciptaan Allah swt.
2. Menampakkan sikap keteguhan di hadapan anak dalam menghadapi berbagai penyimpangan orang-orang sesat, seperti kezaliman, hidup tak bermoral dan sebagainya.
1. Membina Emosi Anak
Pada awal pertumbuhannya, seorang anak belum memiliki reaksi emosional terhadap obyek yang bersifat abstrak seperti mencintai keindahan, kejujuran, kebenaran, etika dan estetika sebagaimana yang dimiliki oleh orang dewasa.
Dalam membina emosi anak hubungan orang tua dengan anak sangat penting karena orang tua adalah pusat kehidupan rohani si anak dan sebagai penyebab berkenalannya dengan alam luar, maka setiap reaksi emosi anak dan pikirannya di kemudian hari, terpengaruh oleh sikapnya terhadap orang tuanya sejak kecil.
Menurut A. Choiran Marzuki ada tiga kriteria orang tua yang gagal dalam membina kecerdasan emosional anak, yaitu:
1) Orang tua yang bersikap masa bodoh, mengabaikan, meremehkan dan tak mau menghiraukan emosi anak.
2) Orang tua yang bersikap negatif terhadap emosi anak, dan terkadang memberikan hukuman kepada anak saat sang anak mengungkapkan emosinya.
3) Orang tua yang bisa menerima emosi anak dan berempati dengannya, namun tidak mau memberikan bimbingan dan mengadakan batasan-batasan dengan tingkah laku riil.
2. Pengertian Moral
Istilah moral berasal dari kata latin ‘mos’ (moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan, nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas, merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral.
Menurut Zakiah Daradjat, dalam bukunya yang berjudul “Peranan Agama dalam Kesehatan Mental mengatakan bahwa moral adalah kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat yang timbul dari hati dan bukan paksaan dari luar, yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan (tindakan) tersebut. Tindakan itu haruslah mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan atau keinginan pribadi.
Dalam Islam moral merupakan terjemahan dari kata akhlak. Namun demikian moral dapat diartikan sebagai suatu kebiasaan atau kelakuan yang bersumber dari nilai-nilai masyarakat, sedangkan akhlak merupakan suatu kelakuan atau sikap yang dimiliki oleh seseorang yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits.
Di kalangan para ulama terdapat berbagai pengertian tentang apa yang dimaksud moral/akhlak. Murtadha Muthahhari mengemukakan bahwa moral/akhlak mengacu kepada perbuatan yang bersifat manusiawi, yaitu perbuatan yang lebih bernilai dari sekedar perbuatan alami seperti makan, tidur, dan sebagainya.
Pengertian moral secara lebih lengkap dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih, bahwa moral/akhlak adalah suatu perbuatan yang lahir dengan mudah dari jiwa yang tulus, tanpa memerlukan pertimbangan dan pertimbangan lagi.
Berdasarkan definisi di atas Abuddin Nata, merumuskan bahwa perbuatan moral/akhlak harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Perbuatan tersebut telah mendarah daging atau mempribadi, sehingga menjadi identitas orang melakukannya.
2. Perbuatan tersebut dilakukan dengan mudah, gampang serta tanpa memerlukan pikiran lagi. Sebagai akibat dari telah mempribadinya perbuatan tersebut.
3. Perbuatan tersebut dilakukan atas kemauan dan pilihan sendiri bukan karena paksaan dari luar. Perbuatan tersebut dilakukan dengan sebenarnya bukan berpura-pura, sandiwara, atau tipuan dan perbuatan tersebut atas dasar niat karena Allah swt.
Dalam hubungannya antara ajaran agama khususnya Islam dan moral ini, Zakiah Daradjat berpendapat bahwa jika kita ambil ajaran agama, maka moral adalah sangat penting bahkan yang terpenting di mana kejujuran, keadilan, kebenaran dan pengabdian adalah di antara sifat-sifat yang terpenting dalam agama.[12]
Hal ini sejalan pula dengan pendapat Fazlur Rahman yang mengatakan bahwa:
Inti ajaran agama adalah moral yang bertumpuh pada keyakinan kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa (Habl minallah) dan keadilan serta berbuat baik dengan sesama manusia (Habl minannaas).[13]
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa moral dalam ajaran Islam merupakan terjemahan dari kata akhlak yang berarti sifat terpuji yang merupakan pantulan berupa perilaku, ucapan dan sikap yang ditimbulkan oleh seseorang atau dengan kata lain moral adalah amal saleh dan dalam mendidik moral anak orang tua harus memberikan tauladan yang baik sebab moral anak terbentuk dengan meniru bukan dengan nasehat atau petunjuk.
B. Anak dan Perkembangannya
Dalam Kamus Bahasa Indonesia anak adalah turunan yang kedua.[14] Anak adalah anggota keluarga dimana orang tua adalah pemimpin keluarga, sebagai penanggung jawab atas keselamatan warganya di dunia dan khususnya di akhirat.
Selanjutnya perkembangan menurut Syamsu Yusuf adalah perubahan yang berkesinambungan dalam diri individu dari mulai lahir sampai mati.[15] Dan perkembangan yang dimaksud penulis di sini adalah perkembangan dalam aspek moral, yaitu perubahan-perubahan yang dialami seseorang menuju tingkat kedewasaan yang berlangsung secara berkesinambungan yang menyangkut pertambahan pengetahuan seorang anak mengenai ukuran baik dan buruk.
Menurut Abu Ahmadi dalam bukunya yang berjudul “Psikologi Perkembangan” mengatakan bahwa perkembangan moral seseorang berkaitan erat dengan perkembangan sosial anak di samping pengaruh luar dari perkembangan pikiran, perasaan serta kemauan atas hasil tanggapan diri anak.[16]
Moralitas tidak dapat terjadi hanya melalui pengertian-pengertian, tanpa latihan-latihan, pembiasaan dan contoh-contoh yang diperoleh sejak kecil. Kebiasaan itu tertanam dengan berangsur-berangsur sesuai dengan pertumbuhan kecerdasannya, sesudah itu barulah si anak diberi pengertian-pengertian moral. Selanjutnya Zakiah Daradjat mengatakan bahwa dalam pembinaan moral, agama mempunyai peranan yang penting, karena nilai-nilai moral yang datang dari agama tetap dan tidak berubah-ubah oleh waktu dan tempat.[17]
Senada dengan pendapat di atas Sabiq Barbari juga mengatakan: ilmu yang diperoleh pada masa kanak-kanak sangat terkesan, tetapi tidak berkesan apabila diperoleh pada masa dewasa. Sebagaimana dahan pohon yang hijau dapat ditegakkan dengan mudah, tetapi apabila telah kering tidak dapat ditegakkan.[18]
Proses perkembangan moral anak dapat berlangsung melalui beberapa cara sebagai berikut:
1. Pendidikan Langsung, yaitu melalui penanaman pengertian tentang tingkah laku yang benar dan salah, atau baik dan buruk oleh orang tua, guru atau orang dewasa lainnya.
2. Identifikasi, yaitu dengan cara mengidentifikasi atau meniru penampilan atau tingkah laku moral seseorang yang menjadi idolanya (seperti orang tua, guru, kyai, artis orang dewasa lainnya).
3. Proses coba-coba (Trial and error), yaitu dengan cara mengembangkan tingkah laku moral secara coba-coba. Tingkah laku yang mendatangkan pujian atau penghargaan akan terus dikembangkan, sementara tingkah laku yang mendatangkan hukuman akan dihentikan.[19]
Robert J. Havighurst, telah membagi tahap perkembangan moral seseorang ke dalam empat tahap yang disesuaikan dengan value/tata nilai yang ada, yaitu:
1. Usia 1-4 tahun : Pada fase ini ukuran baik dan buruk bagi seorang anak itu tergantung dari apa yang dikatakan oleh orang tua. Walaupun anak saat itu belum tahu benar hakikat atau perbedaan antara yang baik dan buruk.
2. Usia 4-8 tahun : Pada fase ini ukuran tata nilai bagi seorang anak adalah dari yang lahir (realitas). Anak belum dapat menafsirkan hal-hal yang tersirat dari sebuah perbuatan, antara perbuatan disengaja atau tidak, anak belum mengetahui yang ia nilai hanyalah kenyataannya.
3. Usia 8-13 tahun : Pada fase ini anak sudah mengenal ukuran baik-buruk secara batin (tak nyata) meskipun masih terbatas.
4. Usia 13 tahun dan seterusnya: Pada fase ini seorang anak sudah mulai sadar betul tentag tata nilai kesusilaan (value). Anak akan patuh atau melanggar berdasarkan pemahamannya terhadap konsep tata nilai yang diterima. Pada saat ini anak benar-benar berada pada kondisi dapat mengendalikan dirinya sendiri.[20]
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa dalam mendidik moral anak harus dimulai sejak kecil dan tetap berpegang pada ajaran agama sebab pengalaman dan pendidikan agama yang dirasakan sejak kecil akan menentukan sikap anak setelah dewasa, dan kesemuanya itu merupakan tanggung jawab orang tua.
C. Metode dalam Mendidik Moral Anak
Pendidikan anak dalam lingkungan keluarga merupakan awal dan pusat bagi seluruh pertumbuhan dan perkembangan anak, untuk mencapai kedewasaan atau dapat disebut mencapai dirinya sendiri.
Dapat dikatakan bahwa keluarga adalah “sekolah perkembangan anak”. Karena dalam keluarga tempat fasilitas anak untuk tumbuh dan berpola serta bertingkah laku.[21] Dan menurut penulis dikatakan bahwa keluarga adalah “sekolah perkembangan anak” karena dalam lingkungan keluargalah seorang anak tumbuh dan bertingkah laku sesuai dengan keadaan lingkungan keluarga, yang berlangsung secara berkesinambungan menuju tingkat kedewasaan. Strategi yang baik dalam proses pembentukan moral adalah strategi yang dapat melahirkan metode yang baik pula. Sebab metode merupakan suatu cara dalam pelaksanaan strategi.
Selanjutnya dalam mendidik anak ada beberapa metode yang dapat digunakan antara lain:
1. Metode Teladan
Al-Qur’an dengan tegas menandaskan pentingnya contoh teladan, Allah menyuruh kita mempelajari tindak tanduk Rasulullah Saw. dalam QS. Al-Ahzab : 21 yang berbunyi :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Terjemahnya :
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.[22].
Teladan yang baik dari orang tua dibutuhkan pada hal-hal berikut :
1. Konsekuen dalam melaksanakan sikap terpuji dan akhlak mulia karena satu kali saja berbuat salah di depan anak, maka terhapuslah semua yang baik di matanya.
2. Sebagian besar akhlak yang terpuji didapati anak dari contoh dan teladan orang tuanya. Sifat dermawan, berani, amanah, menghormati orang lain, dll adalah sifat yang didapat anak dari sikap orang tuanya yang ia lihat langsung.
3. Sampai usia empat tahun, anak menjadikan orang tuanya sebagai teladan utama.
2. Metode Nasehat
Memberikan pengertian sangat penting bagi perkembangan anak karena dengan pengertian yang akan menjadikan dirinya memahami apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak dilakukan. Namun seringkali anak ingin mencoba untuk melakukan sesuatu yang berlawanan dengan orang tua. Oleh karena itu, perbuatannya perlu ditunjukkan atau diberi peringatan. Jika peringatannya tidak diperhatikan dan selalu melakukan tanpa mempedulikan orang atua atau lingkungan keluarga, orang tua perlu memperlakukan tindakan dengan mencegah perbuatannya itu, agar tidak diulangi lagi, sebagaimana firman Allah dalam QS. Luqman : 13.
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ ِلابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لاَ تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Terjemahnya :
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.[23]
Sebagai orang tua, saat memberikan pengertian terhadap sesuatu yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan hendaklah benar-benar kita terapkan juga, dan jangan sampai melanggarnya, apalagi kalau anak melihatnya. Begitu juga dalam memberikan peraturan dan perintah hendaknya melihat kondisi dan sesuai dengan masa, usia perkembangannya. Karena kita tidak memaksakan sesuatu sekehendak diri kita, melainkan melihat, memperhatikan kondisi perkembangannya.
3. Metode Pembiasaan
Metode pembiasaan sangat penting untuk diterapkan karena pembentukan moral dan rohani tidaklah cukup tanpa pembiasaan sejak dini. Untuk terbiasa hidup disiplin, teratur, tolong menolong dalam kehidupan sosial memerlukan latihan yang kontinu setiap hari dan dibarengi dengan keteladanan dan panutan, karena pembiasaan tanpa dibarengi contoh tauladan akan sia-sia.
4. Metode Kisah
Dalam Islam metode kisah mempunyai fungsi edukatif tidak dapat diganti dengan bentuk penyampaian selain bahasa. Anak-anak menyukai mendengarkan cerita karena daya hayal mereka luas dan karena kisah atau cerita bisa menggambarkan suatu peristiwa seperti nyata. Menceritakan kisah-kisah para nabi akan dapat menggugah hati anak sebab kisah-kisah para nabi memuat nilai-nilai akhlak yang terpuji yang ditampilkan dengan cara menarik baik itu akhlak yang dimiliki para rasul atau kesabaran dan perjuangannya dalam menyampaikan risalah.
5. Hadiah dan hukuman
Menggemarkan berbuat baik dan peringatan dari perbuatan jahat adalah dua hal yang erat hubungannya dalam Al-Qur’an, dan ini cukup agar orang menjadi beriman. Orang yang tidak terpengaruh oleh apa yang Allah SWT. janjikan bagi perbuatan baik dan hukuman dari perbuatan jahat, maka Allah SWT. akan memberikan azab-Nya di dunia dan akhirat. Seperti halnya imbalan bagi perbuatan baik, begitu pula hukuman merupakan salah satu sarana pendidikan. Di antara hukuman tersebut misalnya pukulan merupakan sarana mendidik anak agar tidak malas shalat.
Namun yang harus diperhatikan ornag tua adalah bahwa hadiah dan hukuman itu tidak menjadikan anak lupa apa yang dilakukan dan diperbuatnya, hanya memperhatikan hadiahnya. Di sinilah dibutuhkan peran orangtua bagaimana agar dalam memberikan hadiah yang menjadikan baik bagi anak.
Begitu juga dalam memberikan hukuman pada anak, sebaiknya memberikan pengertian tentang kesalahan yang diperbuatnya.
D. Tujuan Pendidikan Moral Anak dalam Islam
Pendidikan adalah bimbingan kepada anak yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya. Anak adalah makhluk yang sedang tumbuh, oleh karena itu pendidikan penting bagi anak. Menurut Ahmad D. Marimba dalam buku “Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam” karangan Ahmad Tafsir mengatakan bahwa:
Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didiknya menuju terbentuknya kepribadian yang utama.[24]
John Dewey, tokoh pendidikan terkemuka mengatakan “pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia”.[25]
Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa mendidik adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.[26]
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan sebagai usaha sadar, disengaja, dan positif untuk menuntun hidup jasmani dan rohani anak didik dengan memberikan kesempatan kepadanya guna mengembangkan bakat menuju terbentuknya kepribadian yang utama, selanjutnya tentang pengertian pendidikan Islam, maka penulis akan mengemukakan pendapat beberapa tokoh pendidikan Islam antara lain:
1. Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.[27]
2. Syaifuddin Ansyari mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah proses bimbingan (pimpinan), tuntunan, usulan oleh subyek didik terhadap perkembangan jiwa dan raga objek didik dengan bahan-bahan materi metode tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam.[28]
3. Muhammad Ibrahim mengemukakan bahwa pendidikan Islam dalam pandangan yang sebenarnya adalah suatu sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam sehingga dengan mudah dapat membentuk hidupnya dengan ajaran Islam.[29]
Berdasarkan beberapa rumusan tentang pendidikan Islam di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pendidikan Islam merupakan usaha yang dilakukan oleh pendidik dalam hal ini orang tua dan guru yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian anak sesuai dengan ajaran agama Islam.
Pendidikan sebagai suatu aktivitas yang terorganisasi berencana dan sadar akan tujuan, maka praktis pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan apa yang menjadi tujuannya. Dalam hal ini penulis mengemukakan bahwa tujuan adalah sesuatu yang harus dan diharapkan setelah suatu usaha atau kegiatan selesai. Oleh karena pendidikan merupakan usaha, atau kegiatan yang berproses melalui tahapan-tahapan dan tingkatan, maka tujuannya pun bertahap atau bertingkat-tingkat.
Adapun mengenai tujuan pendidikan Islam berikut ada beberapa nukilan tentang tujuan pendidikan Islam dan beberapa ahli yaitu:
1. M. Athiyah al-Abrasyiy mengatakan bahwa pembentukan moral yang tinggi adalah tujuan-tujuan utama dari pendidikan Islam.[30]
2. Mukhtar Yahya, tujuan pendidikan Islam yaitu memberikan pedoman tentang ajaran-ajaran Islam kepada anak didik dan membentuk keluhuran budi pekerti sebagaimana misi Rasulullah sebagai pengemban amanah untuk menyempurnakan akhlak mulia sehingga memperoleh kehidupan di dunia dan akhirat.[31]
Berangkat dari tujuan pendidikan Islam di atas dapat dikatakan tujuan pendidikan moral adalah membentuk manusia berkepribadian dan berbudi luhur serta mempunyai nilai fungsional bagi dirinya sendiri, agama, keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya. Maka tujuan akhir dari pendidikan Islam bertolak pada sikap penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah pada tingkat individual, masyarakat dan tingkat kemanusiaan pada umumnya.
________________________________________
http://meetabied.wordpress.com/2009/10/30/orang-tua-dan-pendidikan-moral-bagi-anak/ - _ftnref1[1]Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 41.
[2]Abu Ahmadi dan Munawar Sholeh, Psikologi Perkembangan (Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 25.
[3]Khaeruddin, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. I; Makassar: CV. Berkah Utami, 2002), h. 102.
[4]Ibid., h. 56.
http://meetabied.wordpress.com/2009/10/30/orang-tua-dan-pendidikan-moral-bagi-anak/ - _ftnref5[5]A. Choiran Marzuki, Anak Saleh dalam Asuhan Ibu Muslimah (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004), h. 142.
http://meetabied.wordpress.com/2009/10/30/orang-tua-dan-pendidikan-moral-bagi-anak/ - _ftnref6[6]Khalid Ahmad Asy-Syantut, Rumah Pilar Utama Pendidikan Anak (Cet. I; Jakarta: Rabbani Pers, 2005), h. 30
http://meetabied.wordpress.com/2009/10/30/orang-tua-dan-pendidikan-moral-bagi-anak/ - _ftnref7[7]Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Cet. IV; Bandung: PT. Rosdakarya, 2004), h. 132.
[8]Zakiah Daradjat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental (Jakarta: Gunung Agung, 1978), h. 63.
[9]Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan Islam Mengatasi Masalah Kelemahan Pendidikan di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2003), h. 196.
[10]Ibid., h. 197.
http://meetabied.wordpress.com/2009/10/30/orang-tua-dan-pendidikan-moral-bagi-anak/ - _ftnref11[11]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 13.
http://meetabied.wordpress.com/2009/10/30/orang-tua-dan-pendidikan-moral-bagi-anak/ - _ftnref12[12]Zakiah Daradjat, ‘Peranan Agama dalam Kesehatan Mental’, loc.cit., h. 63.
http://meetabied.wordpress.com/2009/10/30/orang-tua-dan-pendidikan-moral-bagi-anak/ - _ftnref13[13]Abuddin Nata, ‘Manajemen Pendidikan Islam . . .’, op.cit., h. 198.
[14]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 192.
http://meetabied.wordpress.com/2009/10/30/orang-tua-dan-pendidikan-moral-bagi-anak/ - _ftnref15[15]Syamsu Yusuf, op.cit., h. 15.
[16]Abu Ahmadi dan Munawar Sholeh, Psikologi Perkembangan (Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 104.
[17]Zakiah Daradjat, ‘Ilmu Jiwa Agama’, op.cit., h. 101.
[18]Lihat Maulana Musa Ahmad Olgar, ‘Tips Mendidik Anak Bagi Orang Tua Muslim (Cet. I; Makassar: CV. Berkah Utami, 2002), 103.
[19]Syamsu Yusuf, op.cit., h. 134.
[20]Abu Ahmadi dan Munawar Sholeh, ‘Psikologi Perkembangan’ op.cit., h. 105.
http://meetabied.wordpress.com/2009/10/30/orang-tua-dan-pendidikan-moral-bagi-anak/ - _ftnref21[21]Abubakar Baradja, Anak dalam Keluarga (Cet. X; Jakarta: Studia Press, 2004), h. 55.
http://meetabied.wordpress.com/2009/10/30/orang-tua-dan-pendidikan-moral-bagi-anak/ - _ftnref22[22]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putera, 2000), h. 670.
[23]Ibid., h. 654.
http://meetabied.wordpress.com/2009/10/30/orang-tua-dan-pendidikan-moral-bagi-anak/ - _ftnref24[24]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Cet. I; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1992), h. 24.
[25]Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan (Cet. II; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001), h. 69.
[26]Ibid.
[27]Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1980), h. 33.
[28]Lihat Abuddin Nata, ‘Manajemen Pendidikan Islam . . .’, op.cit., h. 52.
http://meetabied.wordpress.com/2009/10/30/orang-tua-dan-pendidikan-moral-bagi-anak/ - _ftnref29[29]Khaeruddin, ‘Ilmu Pendidikan Islam’, op.cit., h. 9.
[30]Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, ‘Ilmu Pendidikan’, op.cit., h. 112.
[31]Khaeruddin, ‘Ilmu Pendidikan Islam’, op.cit., h. 22.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar