Kamis, 28 Januari 2010

Orang Tua dan Pendidikan Moral Bagi Anak

Orang Tua dan Pendidikan Moral Bagi Anak
A. Orang Tua dan Pendidikan Moral Anak
Kewajiban Orang Tua
Membina Kepribadian Anak
Dalam membina kepribadian anak orang tua hendaknya memahami dorongan-dorongan serta kebutuhan anak baik secara psikis maupun fisik dan dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga target dalam mengasuh anak akan tercapai sebagaimana yang diinginkan.
Menurut Zakiah Daradjat, orang tua adalah pembina pribadi yang pertama dalam hidup anak. Kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup mereka merupakan unsur-unsur pendidikan yang tidak langsung, yang dengan sendirinya akan masuk ke dalam pribadi anak yang sedang bertumbuh itu.
Senada dengan pendapat di atas, Abu Ahmadi mengatakan bahwa orang tua mempunyai peranan yang pertama dan utama bagi anak-anaknya untuk membawa anak kepada kedewasaan, maka orang tua harus memberi contoh yang baik karena anak suka mengimitasi pada orang tuanya.
Adapun eksistensi orang tua sebagai pendidik yang utama dan pertama dalam meletakkan dasar-dasar pendidikan anak menurut Abdullah Nasih Ulwan adalah:
“Orang pertama dan terakhir yang bertanggung jawab mendidik anak dengan keimanan dan akhlak, membentuknya dengan kematangan intelektual dan keseimbangan fisik dan psikisnya serta mengarahkannya kepada kepemilikan ilmu yang bermanfaat dan bermacam-macam kebudayaannya adalah orang tua”.
Adapun kewajiban utama orang tua sebagai pendidik dalam keluarga menurut Abdurrahman al-Nahlawi ada dua, yaitu:
1. Membiasakan anaknya supaya senantiasa mengingat keagungan dan kebesaran Allah dengan mengajak mereka untuk memikirkan atau mentafakkuri segala ciptaan Allah swt.
2. Menampakkan sikap keteguhan di hadapan anak dalam menghadapi berbagai penyimpangan orang-orang sesat, seperti kezaliman, hidup tak bermoral dan sebagainya.
1. Membina Emosi Anak
Pada awal pertumbuhannya, seorang anak belum memiliki reaksi emosional terhadap obyek yang bersifat abstrak seperti mencintai keindahan, kejujuran, kebenaran, etika dan estetika sebagaimana yang dimiliki oleh orang dewasa.
Dalam membina emosi anak hubungan orang tua dengan anak sangat penting karena orang tua adalah pusat kehidupan rohani si anak dan sebagai penyebab berkenalannya dengan alam luar, maka setiap reaksi emosi anak dan pikirannya di kemudian hari, terpengaruh oleh sikapnya terhadap orang tuanya sejak kecil.
Menurut A. Choiran Marzuki ada tiga kriteria orang tua yang gagal dalam membina kecerdasan emosional anak, yaitu:
1) Orang tua yang bersikap masa bodoh, mengabaikan, meremehkan dan tak mau menghiraukan emosi anak.
2) Orang tua yang bersikap negatif terhadap emosi anak, dan terkadang memberikan hukuman kepada anak saat sang anak mengungkapkan emosinya.
3) Orang tua yang bisa menerima emosi anak dan berempati dengannya, namun tidak mau memberikan bimbingan dan mengadakan batasan-batasan dengan tingkah laku riil.
2. Pengertian Moral
Istilah moral berasal dari kata latin ‘mos’ (moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan, nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas, merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral.
Menurut Zakiah Daradjat, dalam bukunya yang berjudul “Peranan Agama dalam Kesehatan Mental mengatakan bahwa moral adalah kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat yang timbul dari hati dan bukan paksaan dari luar, yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan (tindakan) tersebut. Tindakan itu haruslah mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan atau keinginan pribadi.
Dalam Islam moral merupakan terjemahan dari kata akhlak. Namun demikian moral dapat diartikan sebagai suatu kebiasaan atau kelakuan yang bersumber dari nilai-nilai masyarakat, sedangkan akhlak merupakan suatu kelakuan atau sikap yang dimiliki oleh seseorang yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits.
Di kalangan para ulama terdapat berbagai pengertian tentang apa yang dimaksud moral/akhlak. Murtadha Muthahhari mengemukakan bahwa moral/akhlak mengacu kepada perbuatan yang bersifat manusiawi, yaitu perbuatan yang lebih bernilai dari sekedar perbuatan alami seperti makan, tidur, dan sebagainya.
Pengertian moral secara lebih lengkap dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih, bahwa moral/akhlak adalah suatu perbuatan yang lahir dengan mudah dari jiwa yang tulus, tanpa memerlukan pertimbangan dan pertimbangan lagi.
Berdasarkan definisi di atas Abuddin Nata, merumuskan bahwa perbuatan moral/akhlak harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Perbuatan tersebut telah mendarah daging atau mempribadi, sehingga menjadi identitas orang melakukannya.
2. Perbuatan tersebut dilakukan dengan mudah, gampang serta tanpa memerlukan pikiran lagi. Sebagai akibat dari telah mempribadinya perbuatan tersebut.
3. Perbuatan tersebut dilakukan atas kemauan dan pilihan sendiri bukan karena paksaan dari luar. Perbuatan tersebut dilakukan dengan sebenarnya bukan berpura-pura, sandiwara, atau tipuan dan perbuatan tersebut atas dasar niat karena Allah swt.
Dalam hubungannya antara ajaran agama khususnya Islam dan moral ini, Zakiah Daradjat berpendapat bahwa jika kita ambil ajaran agama, maka moral adalah sangat penting bahkan yang terpenting di mana kejujuran, keadilan, kebenaran dan pengabdian adalah di antara sifat-sifat yang terpenting dalam agama.[12]
Hal ini sejalan pula dengan pendapat Fazlur Rahman yang mengatakan bahwa:
Inti ajaran agama adalah moral yang bertumpuh pada keyakinan kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa (Habl minallah) dan keadilan serta berbuat baik dengan sesama manusia (Habl minannaas).[13]
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa moral dalam ajaran Islam merupakan terjemahan dari kata akhlak yang berarti sifat terpuji yang merupakan pantulan berupa perilaku, ucapan dan sikap yang ditimbulkan oleh seseorang atau dengan kata lain moral adalah amal saleh dan dalam mendidik moral anak orang tua harus memberikan tauladan yang baik sebab moral anak terbentuk dengan meniru bukan dengan nasehat atau petunjuk.
B. Anak dan Perkembangannya
Dalam Kamus Bahasa Indonesia anak adalah turunan yang kedua.[14] Anak adalah anggota keluarga dimana orang tua adalah pemimpin keluarga, sebagai penanggung jawab atas keselamatan warganya di dunia dan khususnya di akhirat.
Selanjutnya perkembangan menurut Syamsu Yusuf adalah perubahan yang berkesinambungan dalam diri individu dari mulai lahir sampai mati.[15] Dan perkembangan yang dimaksud penulis di sini adalah perkembangan dalam aspek moral, yaitu perubahan-perubahan yang dialami seseorang menuju tingkat kedewasaan yang berlangsung secara berkesinambungan yang menyangkut pertambahan pengetahuan seorang anak mengenai ukuran baik dan buruk.
Menurut Abu Ahmadi dalam bukunya yang berjudul “Psikologi Perkembangan” mengatakan bahwa perkembangan moral seseorang berkaitan erat dengan perkembangan sosial anak di samping pengaruh luar dari perkembangan pikiran, perasaan serta kemauan atas hasil tanggapan diri anak.[16]
Moralitas tidak dapat terjadi hanya melalui pengertian-pengertian, tanpa latihan-latihan, pembiasaan dan contoh-contoh yang diperoleh sejak kecil. Kebiasaan itu tertanam dengan berangsur-berangsur sesuai dengan pertumbuhan kecerdasannya, sesudah itu barulah si anak diberi pengertian-pengertian moral. Selanjutnya Zakiah Daradjat mengatakan bahwa dalam pembinaan moral, agama mempunyai peranan yang penting, karena nilai-nilai moral yang datang dari agama tetap dan tidak berubah-ubah oleh waktu dan tempat.[17]
Senada dengan pendapat di atas Sabiq Barbari juga mengatakan: ilmu yang diperoleh pada masa kanak-kanak sangat terkesan, tetapi tidak berkesan apabila diperoleh pada masa dewasa. Sebagaimana dahan pohon yang hijau dapat ditegakkan dengan mudah, tetapi apabila telah kering tidak dapat ditegakkan.[18]
Proses perkembangan moral anak dapat berlangsung melalui beberapa cara sebagai berikut:
1. Pendidikan Langsung, yaitu melalui penanaman pengertian tentang tingkah laku yang benar dan salah, atau baik dan buruk oleh orang tua, guru atau orang dewasa lainnya.
2. Identifikasi, yaitu dengan cara mengidentifikasi atau meniru penampilan atau tingkah laku moral seseorang yang menjadi idolanya (seperti orang tua, guru, kyai, artis orang dewasa lainnya).
3. Proses coba-coba (Trial and error), yaitu dengan cara mengembangkan tingkah laku moral secara coba-coba. Tingkah laku yang mendatangkan pujian atau penghargaan akan terus dikembangkan, sementara tingkah laku yang mendatangkan hukuman akan dihentikan.[19]
Robert J. Havighurst, telah membagi tahap perkembangan moral seseorang ke dalam empat tahap yang disesuaikan dengan value/tata nilai yang ada, yaitu:
1. Usia 1-4 tahun : Pada fase ini ukuran baik dan buruk bagi seorang anak itu tergantung dari apa yang dikatakan oleh orang tua. Walaupun anak saat itu belum tahu benar hakikat atau perbedaan antara yang baik dan buruk.
2. Usia 4-8 tahun : Pada fase ini ukuran tata nilai bagi seorang anak adalah dari yang lahir (realitas). Anak belum dapat menafsirkan hal-hal yang tersirat dari sebuah perbuatan, antara perbuatan disengaja atau tidak, anak belum mengetahui yang ia nilai hanyalah kenyataannya.
3. Usia 8-13 tahun : Pada fase ini anak sudah mengenal ukuran baik-buruk secara batin (tak nyata) meskipun masih terbatas.
4. Usia 13 tahun dan seterusnya: Pada fase ini seorang anak sudah mulai sadar betul tentag tata nilai kesusilaan (value). Anak akan patuh atau melanggar berdasarkan pemahamannya terhadap konsep tata nilai yang diterima. Pada saat ini anak benar-benar berada pada kondisi dapat mengendalikan dirinya sendiri.[20]
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa dalam mendidik moral anak harus dimulai sejak kecil dan tetap berpegang pada ajaran agama sebab pengalaman dan pendidikan agama yang dirasakan sejak kecil akan menentukan sikap anak setelah dewasa, dan kesemuanya itu merupakan tanggung jawab orang tua.
C. Metode dalam Mendidik Moral Anak
Pendidikan anak dalam lingkungan keluarga merupakan awal dan pusat bagi seluruh pertumbuhan dan perkembangan anak, untuk mencapai kedewasaan atau dapat disebut mencapai dirinya sendiri.
Dapat dikatakan bahwa keluarga adalah “sekolah perkembangan anak”. Karena dalam keluarga tempat fasilitas anak untuk tumbuh dan berpola serta bertingkah laku.[21] Dan menurut penulis dikatakan bahwa keluarga adalah “sekolah perkembangan anak” karena dalam lingkungan keluargalah seorang anak tumbuh dan bertingkah laku sesuai dengan keadaan lingkungan keluarga, yang berlangsung secara berkesinambungan menuju tingkat kedewasaan. Strategi yang baik dalam proses pembentukan moral adalah strategi yang dapat melahirkan metode yang baik pula. Sebab metode merupakan suatu cara dalam pelaksanaan strategi.
Selanjutnya dalam mendidik anak ada beberapa metode yang dapat digunakan antara lain:
1. Metode Teladan
Al-Qur’an dengan tegas menandaskan pentingnya contoh teladan, Allah menyuruh kita mempelajari tindak tanduk Rasulullah Saw. dalam QS. Al-Ahzab : 21 yang berbunyi :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Terjemahnya :
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.[22].
Teladan yang baik dari orang tua dibutuhkan pada hal-hal berikut :
1. Konsekuen dalam melaksanakan sikap terpuji dan akhlak mulia karena satu kali saja berbuat salah di depan anak, maka terhapuslah semua yang baik di matanya.
2. Sebagian besar akhlak yang terpuji didapati anak dari contoh dan teladan orang tuanya. Sifat dermawan, berani, amanah, menghormati orang lain, dll adalah sifat yang didapat anak dari sikap orang tuanya yang ia lihat langsung.
3. Sampai usia empat tahun, anak menjadikan orang tuanya sebagai teladan utama.
2. Metode Nasehat
Memberikan pengertian sangat penting bagi perkembangan anak karena dengan pengertian yang akan menjadikan dirinya memahami apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak dilakukan. Namun seringkali anak ingin mencoba untuk melakukan sesuatu yang berlawanan dengan orang tua. Oleh karena itu, perbuatannya perlu ditunjukkan atau diberi peringatan. Jika peringatannya tidak diperhatikan dan selalu melakukan tanpa mempedulikan orang atua atau lingkungan keluarga, orang tua perlu memperlakukan tindakan dengan mencegah perbuatannya itu, agar tidak diulangi lagi, sebagaimana firman Allah dalam QS. Luqman : 13.
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ ِلابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لاَ تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Terjemahnya :
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.[23]
Sebagai orang tua, saat memberikan pengertian terhadap sesuatu yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan hendaklah benar-benar kita terapkan juga, dan jangan sampai melanggarnya, apalagi kalau anak melihatnya. Begitu juga dalam memberikan peraturan dan perintah hendaknya melihat kondisi dan sesuai dengan masa, usia perkembangannya. Karena kita tidak memaksakan sesuatu sekehendak diri kita, melainkan melihat, memperhatikan kondisi perkembangannya.
3. Metode Pembiasaan
Metode pembiasaan sangat penting untuk diterapkan karena pembentukan moral dan rohani tidaklah cukup tanpa pembiasaan sejak dini. Untuk terbiasa hidup disiplin, teratur, tolong menolong dalam kehidupan sosial memerlukan latihan yang kontinu setiap hari dan dibarengi dengan keteladanan dan panutan, karena pembiasaan tanpa dibarengi contoh tauladan akan sia-sia.
4. Metode Kisah
Dalam Islam metode kisah mempunyai fungsi edukatif tidak dapat diganti dengan bentuk penyampaian selain bahasa. Anak-anak menyukai mendengarkan cerita karena daya hayal mereka luas dan karena kisah atau cerita bisa menggambarkan suatu peristiwa seperti nyata. Menceritakan kisah-kisah para nabi akan dapat menggugah hati anak sebab kisah-kisah para nabi memuat nilai-nilai akhlak yang terpuji yang ditampilkan dengan cara menarik baik itu akhlak yang dimiliki para rasul atau kesabaran dan perjuangannya dalam menyampaikan risalah.
5. Hadiah dan hukuman
Menggemarkan berbuat baik dan peringatan dari perbuatan jahat adalah dua hal yang erat hubungannya dalam Al-Qur’an, dan ini cukup agar orang menjadi beriman. Orang yang tidak terpengaruh oleh apa yang Allah SWT. janjikan bagi perbuatan baik dan hukuman dari perbuatan jahat, maka Allah SWT. akan memberikan azab-Nya di dunia dan akhirat. Seperti halnya imbalan bagi perbuatan baik, begitu pula hukuman merupakan salah satu sarana pendidikan. Di antara hukuman tersebut misalnya pukulan merupakan sarana mendidik anak agar tidak malas shalat.
Namun yang harus diperhatikan ornag tua adalah bahwa hadiah dan hukuman itu tidak menjadikan anak lupa apa yang dilakukan dan diperbuatnya, hanya memperhatikan hadiahnya. Di sinilah dibutuhkan peran orangtua bagaimana agar dalam memberikan hadiah yang menjadikan baik bagi anak.
Begitu juga dalam memberikan hukuman pada anak, sebaiknya memberikan pengertian tentang kesalahan yang diperbuatnya.
D. Tujuan Pendidikan Moral Anak dalam Islam
Pendidikan adalah bimbingan kepada anak yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya. Anak adalah makhluk yang sedang tumbuh, oleh karena itu pendidikan penting bagi anak. Menurut Ahmad D. Marimba dalam buku “Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam” karangan Ahmad Tafsir mengatakan bahwa:
Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didiknya menuju terbentuknya kepribadian yang utama.[24]
John Dewey, tokoh pendidikan terkemuka mengatakan “pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia”.[25]
Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa mendidik adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.[26]
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan sebagai usaha sadar, disengaja, dan positif untuk menuntun hidup jasmani dan rohani anak didik dengan memberikan kesempatan kepadanya guna mengembangkan bakat menuju terbentuknya kepribadian yang utama, selanjutnya tentang pengertian pendidikan Islam, maka penulis akan mengemukakan pendapat beberapa tokoh pendidikan Islam antara lain:
1. Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.[27]
2. Syaifuddin Ansyari mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah proses bimbingan (pimpinan), tuntunan, usulan oleh subyek didik terhadap perkembangan jiwa dan raga objek didik dengan bahan-bahan materi metode tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam.[28]
3. Muhammad Ibrahim mengemukakan bahwa pendidikan Islam dalam pandangan yang sebenarnya adalah suatu sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam sehingga dengan mudah dapat membentuk hidupnya dengan ajaran Islam.[29]
Berdasarkan beberapa rumusan tentang pendidikan Islam di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pendidikan Islam merupakan usaha yang dilakukan oleh pendidik dalam hal ini orang tua dan guru yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian anak sesuai dengan ajaran agama Islam.
Pendidikan sebagai suatu aktivitas yang terorganisasi berencana dan sadar akan tujuan, maka praktis pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan apa yang menjadi tujuannya. Dalam hal ini penulis mengemukakan bahwa tujuan adalah sesuatu yang harus dan diharapkan setelah suatu usaha atau kegiatan selesai. Oleh karena pendidikan merupakan usaha, atau kegiatan yang berproses melalui tahapan-tahapan dan tingkatan, maka tujuannya pun bertahap atau bertingkat-tingkat.
Adapun mengenai tujuan pendidikan Islam berikut ada beberapa nukilan tentang tujuan pendidikan Islam dan beberapa ahli yaitu:
1. M. Athiyah al-Abrasyiy mengatakan bahwa pembentukan moral yang tinggi adalah tujuan-tujuan utama dari pendidikan Islam.[30]
2. Mukhtar Yahya, tujuan pendidikan Islam yaitu memberikan pedoman tentang ajaran-ajaran Islam kepada anak didik dan membentuk keluhuran budi pekerti sebagaimana misi Rasulullah sebagai pengemban amanah untuk menyempurnakan akhlak mulia sehingga memperoleh kehidupan di dunia dan akhirat.[31]
Berangkat dari tujuan pendidikan Islam di atas dapat dikatakan tujuan pendidikan moral adalah membentuk manusia berkepribadian dan berbudi luhur serta mempunyai nilai fungsional bagi dirinya sendiri, agama, keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya. Maka tujuan akhir dari pendidikan Islam bertolak pada sikap penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah pada tingkat individual, masyarakat dan tingkat kemanusiaan pada umumnya.
________________________________________
http://meetabied.wordpress.com/2009/10/30/orang-tua-dan-pendidikan-moral-bagi-anak/ - _ftnref1[1]Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 41.
[2]Abu Ahmadi dan Munawar Sholeh, Psikologi Perkembangan (Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 25.
[3]Khaeruddin, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. I; Makassar: CV. Berkah Utami, 2002), h. 102.
[4]Ibid., h. 56.
http://meetabied.wordpress.com/2009/10/30/orang-tua-dan-pendidikan-moral-bagi-anak/ - _ftnref5[5]A. Choiran Marzuki, Anak Saleh dalam Asuhan Ibu Muslimah (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004), h. 142.
http://meetabied.wordpress.com/2009/10/30/orang-tua-dan-pendidikan-moral-bagi-anak/ - _ftnref6[6]Khalid Ahmad Asy-Syantut, Rumah Pilar Utama Pendidikan Anak (Cet. I; Jakarta: Rabbani Pers, 2005), h. 30
http://meetabied.wordpress.com/2009/10/30/orang-tua-dan-pendidikan-moral-bagi-anak/ - _ftnref7[7]Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Cet. IV; Bandung: PT. Rosdakarya, 2004), h. 132.
[8]Zakiah Daradjat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental (Jakarta: Gunung Agung, 1978), h. 63.
[9]Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan Islam Mengatasi Masalah Kelemahan Pendidikan di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2003), h. 196.
[10]Ibid., h. 197.
http://meetabied.wordpress.com/2009/10/30/orang-tua-dan-pendidikan-moral-bagi-anak/ - _ftnref11[11]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 13.
http://meetabied.wordpress.com/2009/10/30/orang-tua-dan-pendidikan-moral-bagi-anak/ - _ftnref12[12]Zakiah Daradjat, ‘Peranan Agama dalam Kesehatan Mental’, loc.cit., h. 63.
http://meetabied.wordpress.com/2009/10/30/orang-tua-dan-pendidikan-moral-bagi-anak/ - _ftnref13[13]Abuddin Nata, ‘Manajemen Pendidikan Islam . . .’, op.cit., h. 198.
[14]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 192.
http://meetabied.wordpress.com/2009/10/30/orang-tua-dan-pendidikan-moral-bagi-anak/ - _ftnref15[15]Syamsu Yusuf, op.cit., h. 15.
[16]Abu Ahmadi dan Munawar Sholeh, Psikologi Perkembangan (Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 104.
[17]Zakiah Daradjat, ‘Ilmu Jiwa Agama’, op.cit., h. 101.
[18]Lihat Maulana Musa Ahmad Olgar, ‘Tips Mendidik Anak Bagi Orang Tua Muslim (Cet. I; Makassar: CV. Berkah Utami, 2002), 103.
[19]Syamsu Yusuf, op.cit., h. 134.
[20]Abu Ahmadi dan Munawar Sholeh, ‘Psikologi Perkembangan’ op.cit., h. 105.
http://meetabied.wordpress.com/2009/10/30/orang-tua-dan-pendidikan-moral-bagi-anak/ - _ftnref21[21]Abubakar Baradja, Anak dalam Keluarga (Cet. X; Jakarta: Studia Press, 2004), h. 55.
http://meetabied.wordpress.com/2009/10/30/orang-tua-dan-pendidikan-moral-bagi-anak/ - _ftnref22[22]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putera, 2000), h. 670.
[23]Ibid., h. 654.
http://meetabied.wordpress.com/2009/10/30/orang-tua-dan-pendidikan-moral-bagi-anak/ - _ftnref24[24]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Cet. I; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1992), h. 24.
[25]Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan (Cet. II; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001), h. 69.
[26]Ibid.
[27]Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1980), h. 33.
[28]Lihat Abuddin Nata, ‘Manajemen Pendidikan Islam . . .’, op.cit., h. 52.
http://meetabied.wordpress.com/2009/10/30/orang-tua-dan-pendidikan-moral-bagi-anak/ - _ftnref29[29]Khaeruddin, ‘Ilmu Pendidikan Islam’, op.cit., h. 9.
[30]Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, ‘Ilmu Pendidikan’, op.cit., h. 112.
[31]Khaeruddin, ‘Ilmu Pendidikan Islam’, op.cit., h. 22.

REVIEW MATA KULIAH PENDEKATAN STUDI ISLAM

REVIEW
MATA KULIAH PENDEKATAN STUDI ISLAM
(DR. Ilman Nafi’ah, M.Ag)


A. Mata Kuliah Pendekatan Studi Islam

Studi islam atau studi keislaman (Islamic studies) merupakan suatu disiplin ilmu yang membahas islam, baik sebagai ajaran, kelembagaan , sejarah maupun kehidupan umatnya. Dimaklumi bahwa Islam sebagai agama dan sistem ajaran telah menjalani proses akulturasi, transmisi dari generasi ke generasi dalam rentang waktu yang panjang dan dalam ruang budaya yang beragam. Proses ini melibatkan tokoh-tokoh agama, mulai dari Rasulullah SAW, para sahabat, sampai ustad dan para pemikir islam sebagai pewaris dan perantara yang hidup. Secara kelembagaaan proses transmisi ini berlangsung diberbagai institusi mulai dari keluarga, masyarakat, mesjid, kuttab, madrasah, pesantren , sampai al-jamiah. Dalam proses tersebut para pemeluk agama ini telah memberikan respon, baik dalam pemikiran ovensif maupun devensif terhadap ajaran, ideologi atau pemikiran dari luar agama yang diyakininya itu . dengan demikian, studi keislaman , dilihat dari ruang lingkup kajiannya, berupa mengkaji islam dalam berbagai aspekny dan dari berbagai perspektif nya.
Studi ini menggunakan pola kajian Islamiic studies sebagaimana berkembang dalam tradisi akademik modern (barat). Pola ini tidak sama dengan pengertian pendidikan agama Islam (al-tarbiyah al-islamiyh), yang secara konvensional lebih merupakan proses transmisi ajaran agama , yang melibatkan aspek kognitf (pengtahuan tentang ajaran islam), afektif dan psikomotor (menyangkut sikap dan pengalaman ajaran). Pola kajian yang dikembangkan dalam studi ini adalah upaya kritis terhadap teks , sejarah , dokrin, pemikiran dan istitusi keislaman dengan menggunakan pendekatan-pendektan tertentu,seperti Kalam, Fiqh, fisafat, tasawuf, historis andropologis, sosiologis, psikologis, yang secara populer di kalangan akademik dianggap ilmiah. Dengan pendekatan inikajian tidak disengajakan untuk menemukan atau mempertahankan keimanan atas kebenaran uatu konsep atau ajaran tertentu, melainkan mengkajinya secara ilmiah, yang terbuka ruang didalamnya untuk ditolak, diterima, maupun dipercaya kebenarannya. Kajian dengan pendekatan semacam ini banyak dilakukan oleh para orientalis atau islamis yang memposisikan diri sebagai outsider (pengkaji islam daru luar) dan isider (pengkaji dari kalangan muslim) dalam studi keislaman kontemporer.
B. Materi Perkuliahan
Materi perkulian pendekatan Islam terdiri dari :
 Pendahuluan: Islam sebagai objek studi
 Urgensi studi Islam, asal-usul, dan pertumbuhannya
 Ruang lingkup studi Islam dan pendekatannya
 Studi al-Quran (pendekatan sejarah dan filologi)
 Studi al-Hadits (pendekatan sejarah dan filologi)
 Studi Pemikiran Islam: Kalam
 Studi Pemikiran Islam: Fiqh
 Studi Pemikiran Islam: Filsafat
 Studi pranata Islam: shalat, puasa zakat, haji, perbankan, dll
 Pendekatan Sosiologis: (Islam dan masyarakat, interaksi antar Muslim, Muslim dengan non-Muslim)
 Studi Pemikiran Islam: Tasawuf
 Pendekatan Sosiologis: pengamalan agama dan pengaruhnya dlm masyarakat.
 Pendekatan antropologis
 Pendekatan histories
 Pendekatan arkeologis
 Pendekatan feminis
 Pendekatan penomenologis
 Pendekatan psikologis
 Isu-isu kontemporer: Islam dan HAM, Islam dan demokrasi, gerakan fundamentalisme Islam, dll.

C. Urgensi Pendekatan Studi Islam
Dalam mempelajari pendekatan studi Islam terdapat manfaat atau tujuan diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Menghargai perbedaan
b. Tidak muda menjustifikasi antar kelompok yang berbeda
c. Mengoreksi diri
d. Dll.
D. Ruang Lingkup Studi Islam
Al-Islam wahyun ilahiyun unzila ila nabiyyi Muhammadin SAW li sa’adati aldunya wa al-akhirah Wahyu : al-Quran dan al-Sunnah Al-Quran dibahas dalam ulum al- Quran Al-Hadits dibahas dalam ulum al-Hadits. Telah lahir banyak cabang ilmu berkaitan dengan Islam sebagai wahyu (fenomena budaya); dan semuanya dapat menjadi objek kajian dan penelitian.
Islam Syi’ah, Islam Sunny, Islam NU, Islam Muhammadiyah, dan Islam Ahmadiyah adalah Islam produk sejarah Seluruh bangunan sejarah Islam klasik, pertengahan dan modern, adalah produk sejarah. Corak dan wajah Islam di berbagai belahan dunia adalah produk sejarah. Ilmu kalam, fiqih, Ushul fiqh, akhlak, tashawuf adalah produk sejarah. Semua itu produk sejarah dan dapat dijadikan sebagai objek penelitian.
Bidang keilmuan Islam di PTAI, menurut KMA No. 110/1982, ada 8 ilmu, yang dikembangkan lagi menjadi 16 bidang keahlian (KMA No. 27/ 1995) sebagai berikut:
a. Al-Quran dan Hadis (prodi Tafsir-Hadis)
b. Pemikiran dalam Islam (prodi Akidah- Filsafat).
c. Fiqh (Hukum Islam) dan Pranata Sosial (prodi Ahwal syakhsyiah Muamalah, Jinayah-Siyasah, dan Perbandingan Mazhab & Hukum)
d. Sejarah dan Peradaban Islam (prodi Sejarah dan Kebudayaan Islam).
e. Bahasa dan Sastra Arab (prodi: Bahasa dan Sastra Arab dan Pendidikan Bahasa Arab).
f. Pendidikan Islam (prodi Pendidikan Agama Islam dan Kependidikan Islam)
g. Dakwah Islamiah dan Perbandingan Agama (prodi: Komunikasi dan Penyiaran Islam, Pengembangan Masyarakat Islam, Manajemen Dakwah, Bimbingan dan Penyuluhan Islam, dan Perbandingan Agama)
h. Perkembangan Pemikiran Modern dalam Islam (prodi Akidah dan Filsafat)

D. Studi Al-quran
Al-Quran dari sudut isi atau substansinya , fungsi Al-Quran sebagai tersurat dari nama-namanya adalah sebagai berikut:
a. Al Huda (petunjuk). Dalam Al-quran terdapat tiga kategori tentang posisi Alquran: petunjuk bagi menusia secara umum( Q.S. al-baqarah [2] :185) kedua Alquran sebagai petunjuk bagi orang yang bertaqwa(Q.S Albaqarah [2]: 2, ketiga petunjuk bagi orang beriman,(Q.S Fushilat [41] :44).
b. Al Furqan (pemisah) antara yang hak dan yang batil
c. Al-Shifa (obat), berfungsi sebagai obat bagi penyakit yang ada didalam dada ( jiwa) . (Q.S Yunus [10] : 570:
d. Al-mau’zilah (nasihat) (Q.S Ali Imran (3): 138)
e. Mubin (yang menerankan) (Qs Almaidah {5}:15 Sesungguhnya telah dating kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan Mubarak yang diberkati (QS Al-An’am (6) :92 Dan Alquran ini adalah Kitab yang telah kami berkahi, membenarkan kitab-kitab yang turun sebelumnya.
Didalam al-quran sendiri ada pengklasifikasian yaitu sebagaimana ayat al-qur’an dinagi menjadi dua yaitu :
 ayat Makkiyah : sebagai ayat-ayat pokok yang terdiri dari 4789 ayat
 ayat madaniyah : sebanya 1456 ayat
Apabila ada pertentangan antara makkiyah dan madaniyah, maka yang dipilih adalah madaniyah (yang datang belakangan), sedangkan pendapat lainnya adalah sebaliknya.

E. Studi Hadist
Pengertian Hadits
Al-Hadist Menurut QS, Al-Hasyr :7 Allah berfirman : Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Al-Hadis menurut bahasa mempunyai arti al-jadid (baru), al-khabaran (berita), Al-qarib (dekat) Hadist adalah suatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan , perbuatan, pernyataan (taqrir) dan sebagainya. Sejarah al-Hadist terbagi atas 7 periode. Yaitu periode awal Hijriyah, periode sahabat, periode Dinasti Umayah, Periode Abad kedua Hijriyah, periode Dinasti Abasiyah angkatan pertama, angkatan kedua dan abad ketujuh sampai sekarang.
Unsur-Unsur hadis terdiri tiga hal: rawi, matan dan sanad Jenis-jenis Al-Hadist dapat dilihat dari hal-hal berikut ini.
1. dilihat dari sumbernya , al-hadist terdiri dari Hadist Qudsi dan hadist Nabawi
2. Dari jumlah rawinya, ada hadist Mutawatir dan hadist Ahad.
3. Dilihat dari nilai sanadnya , Al-hadist terdiri hadist sahih, hadist Hasan, dan Hadist Daif.
Kedudukan Al-Hadist adalah sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Quran dan fungsinya sebagai penjelasan (bayan) terhadap Al-Quran. Pengkajian terhadap Al-Hadist ,melahirkan disiplin ilmu , Ilmu Rijalil Hadist, Ilmu Gharibil Hadist, Ilmu Asabi Wurudil Hadist, Ilmu Tawarikhul Mutun, Ilmu Nasikh dan mansukh, Ilmu Mukhtaliful hadist dn ilmu llalil Hadist.
Unsur-unsur Hadits
1. Rawi yaitu yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang didengarnya dan diterimanya dari seorang guru.
2. Matnul Hadist yaitu pembicaraan (kalam) atau materi berita yang di over oleh
3. sanan yang terakhir , baik pembicaraan itu sabda Rasulollah SAW, sahabat atau tabiin.
4. Sanad , yaitu jalan yang dapat menghubungkan matnul Hadist kepada nabi Muhammad SAW.
Jenis-Jenis al-Hadist
1. Dilihat dari segi sumbernya al-Hadist , al-Hadist terbagi dua , yaitu:
a. Hadist Qudsi (Hadist Illahi/Hadist Rabbani) yaitu suatu Hadist yang berisi firman Allah SWT. Yang disampaikan kepada Nabi SAW, kemudian Nabi menerangkannya dengan menggunakan susunan katanya sendiri sera menyandarkannya kepada Allah SWT.
b. Hadist Nabawi , Yitu suatu Hadist yang lafal maupun maknanya berasal dari Muhammad SAW.
2. Dilihat dari segi nilai sanad al-hadist, terbagi 3 bagian:
a. Hadist Sahih , yaitu Hadist yang memenuhi persyaratan kesahihan , adapun syarat-syarat kesahihan mencakup:Sanadnya bersambung, diriwayat kan oleh rawi yang adil tetapi tidak sempurna dabitnya serta matannya tidak syazz dan berillat.
b. Hadist Hasan yaiut hadist yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil tetapi tidak sempurna dabitnya, serta matannya tidak syazz dan berilat.
c. Hadist Da’if yaitu hadist yang tidak memenuhi syarat shahid dan hassan


3. Dilihat dari segi jumlah rawi al-Hadist, terbadi dua
a. Hadist Mutawatir, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah orang pada
b. setiap tingkat sanadnya, yang menurut tradisi mustahil mereka bersepakat untuk
c. dusta dan karena itu diyakini kebenarannya
d. Hadist Ahad, yaitu yang tidak memenuhi syarat Mutawatir.

F. Studi Pemikiran Islam :Kalam
Pengertian Ilmu Kalam
Ilmu Kalam Adalah Ilmu yang merupakan sebuah ilmu yang mengkaji dokrin dokrin dasar atau akidah-akidah pokok islam (Ushuluddin), Ilmu kalam mengidentifikasi akidahakidah pokok dan berupaya membuktikan keabsahannya dan menjawab keraguan terhadap akidah-akidah pokok. Sumber-sumbernya Al-Quran , Hadist, Pemikiran manusia.
Obyek Pembahasan Ilmu Kalam
1. Masalah pengetahuan (al-Ma’rifah) cara memperolehnya, tujuan mengukuhkan keyakinan mengenai pengetahuan informatif (al-ma’rifah al-khariyyah) , khususnya yang dibawa oleh Rasul, tujuannya untuk mengcounter pandangan Thummamiyyah dan safsata’iyyah (sofisme) yang menolak pengetahuan informatif.
2. Masalah kebaruan alam (huduts al’alam) yang bertujuan membuktikan kewujudan zat yang maha pencipta. Ini merupakan bantahan terhadap filosofi .
3. Masalah Keesaan Allah sebagai bantahan terhadap pandangan tsanawiyah yang meyakini eksistensi Tuhan Cahaya (al-Nur) dan Tuhan eksistensi Tuhan Cahaya (al-nur) dan tuhan kegelapan (al-zulmah).
4. Masalah sifat Allah dan hubungannya dengan zat-Nya, apakah zat-Nya sama dengan sifatnya, ataupun berbeda. Ini merupakan bantahan terhadap kaum Mu’tazilah yang terpengaruh filsafat Yunani. Ketika konsep jawhar (substansi) dan arad (aksiden) serta aqnumiyah (oknum dalam teologi kristen) yang digunakan untuk menjustifikasi konsep teologis mereka, dimana Tuhan dianggap akumulasi dari Bapak , anak, ruh kudus.
5. Masalah tanzih (pensucian) Allah dan penolakan tasybih (penyeruan Allah), tujuan untuk membantah pandangan orang yahudi yang menambahkan Tuhan dengan ciri-ciri manusia.
6. Masalah kalam Allah, baik qadim maupun baru, ini terpengaruh dengan pandangan teologi Kristen mengenai al-Masih yang dianggap sebagai kalimatullah, menurut teologi Kristen, Al-Masih adalah Tuhan sedangkan pandangan Islam, beliau adalah Kalimatullah
7. Masalah Kenabian yang bertujuan untuk mengukuhkan keyakinan pada kenabian Muhammad SAW, dan mengkonter sekte Sabi’ah dan Brahmana (hindu ) yang menolak kebutuhan manusia pada nabi, Juga membantah orang-orang yahudi dan Nasrani yang menolak kenabian Muhammad
8. Masalah Kemaksuman para Nabi yang bertujuan membantah pandangan Yahudu bahwa Nabu mempunyai kelemahan , dosa , dan tidak Maksum.
9. Masalah tempat kembali (al-mi’ad) yang membantah pandangan reincarnation (penjelmaan kembali). Agama Budha dan lainnya
10. Masalah al-jabr wa al-iktiyar (keterbatasan dan kebebasan berkehendak) yang terpengaruh dengan pandangan freewill dan fatalisme filsafat Yunani.

G. Studi Pemikiran Islam :Kalam Tasawuf
Pengertian Tasawuf
Tasawuf, menurut etimologi , Ahlu Suffah = kelompok orang pada zaman rasulullah hidupnya banyak di serambi serambi mesjidm mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Alah. Ada lagi mengatakan Tasawuf berasal dari kata Shafa ( fi’il mabni majhul) orang yang bersih dan suci, orang yang menyucikan dirinya Dihadapan Allah.. Ada yang mengartikan berasal dari bahasa Yunani SAUFI yang berarti kebijaksanaan. SHUF yang berarti bulu domba (wol) Tasawuf berdasarkan istilah, (1) menurut Al-Jurairi, Memasuki segala budi (Akhlak) yang bersifat suni dan keluar dari budi pekerti yang rendah. (2) Menurut Al- Junaidi , ia memberikan rumus bahwa tasawuf adalah bahwa yang hak adlaah yang mematikanmu dan Hak-lah yang menghidupkanmu. Adalh beserta Allah tampa adanya penghubung. Dari Al-Junaid dapat disimpulkan tasawuf adalah memberikan hati dari apa yang mengganggu perasaan kebanyakan mahluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal (isntink) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia. Menjauhkan
segala seruahan dari hawa nafsu.mendekatkan sifat suci kerohanian dan bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memaki barang-barang yang penting dan terlebih kekal . Menaburkan nasihat kepada semua umat manusia, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat dan mengikuti contoh Rasulullah dalam hal syariat.
Dari Al-Junaid dapat disimpulkan tasawuf adalah memberikan hati dari apa yang
mengganggu perasaan kebanyakan mahluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal (isntink) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia. Menjauhkan segala seruahan dari hawa nafsu.mendekatkan sifat suci kerohanian dan bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memaki barang-barang yang penting dan terlebih kekal . Menaburkan nasihat kepada semua umat manusia, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat dan mengikuti contoh Rasulullah dalam hal syariat.
Fase perkembangan tasawuf :
1. Fase Askestisme (zuhud) berkembang pada abad kedua Hijriah, sikap semacam ini dipandang pengantar kemunculan tasawuf diman setiap individu dari kalangan muslim memusatkan dirinya pada ibadah dan pendekatan diri pada Allah SWT, mereka tidak mementingkan kenikmatan duniawi dan kemudian berpusat pada kenikmatan akherat, Tokoh yang populer pada fase ini adalah hasan Al Basri (110 H) dan Rabiah Al Adawiyah (185 H) keduanya dalam sejarah disebuth seorang zahid
2. Fase Akhlaki Pada fase ini tasawuf berkembang pada abad ketiga Hijriah , dimana para sufi mulai ekspansi pada wilayah prilaku dan moral manusia. Pada saat manusia ketika itu berada ditengah-tengah terjadinya dekadensi moral yang cukup akut, sehingga dari sini tasawuf mulai berkembang dengan pesat sebagai ilmu moral keagamaan dan mendapat respon yang baik dari masyarakat islam , dari sini kemudian nampaklah bahwa ajaran tasawuf semakin sederhana dan mudah dipraktekkan dengan standart akhlak
3. Fase AL Hallaj. 1 abad kemudian , muncul tasawuf jenis lain yang lebih ekslusif dan fenomental yang diwakili oleh al-hallaj, beliau mengajarkan tentang kebersatuan manusia dengan Tuhan Konsep yang dibawanya adalah wahdatul wujud (bersatu dengan wujud yang satu). Dari konsep ini kemudian Al-Hallaj diputuskan bersalah dan harus dihukum mati, untuk sebuah konsistensi paham tasawufnya, Dimana masyarakat islam masih sangat indentik dengan jenis tasawif aklaki, kemudian al- Hallaj dianggap membahayakan stabilitas umat
4. Fase Tasawuf moderat. kemunculan tasawuf pada fase ini, muncul sekitar abad ke lima hijriyah dengan seorang tokohnya yanitu Imam Ghazali, yang sepenuhnya hanya menerima tasawuf yang berdasarkan al-Quran dan Al-Hadist, serta menekankan kembali askestisme. Al-Ghazali telah berhasil menempatkan prinsip-prinsip tawawuf yang moderat, akibat pengaruh kepribadian iman al_Ghazali yang begitu besar, maka pengaruh tasawuf dengan dasar moderat ini telah meluas hampir keseluruh pelosok dunia islam, lalu mulailah bermunculan para tokoh sufi yang kemudian mengembangkan tarekat tertentu untuk murid-murid mereka, seperti Sayyid Ahmad Ar-Rijai dan Sayyed Abdul Qadir Jaelani.
5. Fase Tasawuf Falsafi. Pada fase ini tasawuf mulai dipadukan denganfilsafat yang muncul pada abad ke 6 hijriah , tokoh yang muncul Syuhrowardi al Maqtul (549 H) , Syek Akbar Mulyadin Ibn Araby (638 H) dan Ibn faridh (632 H) mereka memcoba menggabungkan pola pikir tasawuf yang akhlaki dan askestisme dengan filsafat yunani khususnya neo-Platonisme. Teori –teori yang mendalam khususnya mengenai jiwa, moral, ilmu tentang wijud menjadi hal yang urgensi dalam prinsip berfikir mereka.
Pemikiran Tasawuf Akhlaki Dan Falsafi
1. Pemikiran tasawuf akhlaki
Tasawuf disini dimaksudkan untuk merubah dan memperbaiki akhlak yang mulia. Dalam pemikiran ini tidak hanya bersifat lahiriyah tapi juga batiniyah , dengan latihan (riyadho) tujuannya adalah menguasai hawa nafsu , untuk itulah tasawuf akhlaki menerapkan terapi pembinaan mental dan akhlak yang disusun sebagai berikut
a. terapi takhalli adalah mengosongkan diri dari prilaku dan akhlak tercela, adalah langkah awal yang harus dijalani seorang sufi, untuk memasuki dunis tasawuf yang suci. Kerena akhlak tercela adalah perangkap kenikmatan duniawi. Sebagai penghalang perjalanan seorang hamba pada Tuhannya, untuk mencapai spiritual yang hakiki, Akhlak tercela lainnya yang paling berbahaya adalah Riya(suka pamer). Imam Al Ghazali menganggap penyembuhan diri yang masuk dalam politeisme
b. terapi Tahalli dlakukan agar seseorang dihiasi oleh sikap, prilaku dan Akhlakul karimah Tahp ini dilakukan setelah tahap pertama selesai, lalu mereka akan selalu berusaha berjalan diatas ketentuan agama, tahap ini adalah isi dari pembersiha diri dan pengosongan jiwa. Beberaoa hal yang harus diisi dalam menghiasi beberapa prilaku tadi adalah

 tobat: penyesalan sungguh2 dalam hati yang disertai dengan permohonan ampun serta berusaha meninggalkan segala perbuatan yang dpt menimbukan dosa itu kembali
 Cemas dan Harap adalah sikap mental tasawuf yang selalu bersandar kepada salah seorang tokoh yaitu hasan Al-Basri yaitu seatu perasaan yang timbul karena banyak yang berbuat dosa dan lalai kepada Allah
 Zuud yaitu sikap mental sufi yang melepaskan diri dari ras ketergantungan terhadap kenikmatan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akherat yang abadi
 Al faqr , sikap bermakna , dimana seorang sufi tidak menuntut lebih banya dari apa yang telah dimiliki, sehingga tidak menuntut sesuatu yang lain, Sikap ini merupakan benteng terhadap pengaruh kenikmatan duniawi dan menghindari keserakahan, Pada prinsipnya sikap ini adalah rentetan dari sikap zuhud, hanya saja zuhud lebih eksrim sedangkan faqr adalah sekedar pendisiplinan, sikap inipun pada gilirannya akan menimbulkan sikap wara dalam diri sufi
 Al-Shabr adalah hal yang paling mendasar dalam tasawuf kaena sabar mengandung makna keadaan jiwa yang kokoh stabil , konsekwensi dalaam pendirian , walaupun godaan dan tantangan begitu kuat, sikap ini dilandasi satu anggapan bahwa segala sesuatu terjadi merupaka kehendak Allah dan kita harus menerimanya dengan sabar, tapi iktiar juga tetap harus dijalankan
 Ridha, sikap ini merupakan kelanjtan dari rasa cinta yang merupakan perpaduan Mahabbah dan sabar, Ridho dalam hal ini mengandung makna lapang dada, berjiwa besar, hati terbuka terhadap apa yang bersadar dari Allah baik meneruma ketentuan agama dan masalah nasib itu sendiri
 Muraqqabah sikap ini adalah berarti mawas diri atau lebih tepat nya dengan self correction, sikap dimana kita siap siaga setiap saat untuk meneliti keadaan diri sendiri. Sikap ini berawal dari sebuah landasan pemikiran bahwa Allah senantiasa mengawasi dan mengamati setipa gerak dan langkah kita selama hidup didunia
c. Terapi Tajalli merupakan pemantapan dari tahap tahlli yang bermakna nur ghaib, yaitu dengan menghayati rasa keber Tuhanan lebih mendalam yang kemudian menimbulkan rasa rindu yang amat sangat kepada sang Tuhan, karena kaum sufi berpendapat untuk mencapai kesempurnaan kesucian jiwa , hanya dapat ditempuh dengan satu jalan yaitu cinta kepada Allah secara mendalam , maka jalan menuju tuhan akan terbuka dengan lebar.
H. Pendekatan Sosiologi
Sosiologi ADALAH Ilmu yang mempelajari manusia dan interaksi manusia dengan manusia lain, interaksi seseorang induvidu dengan individu yang lain , atau individu dengan kelompok masyarakat., masyarakat dengan masyarakat, pemimpin dengan rakyat, rakyat dengan rakyat, organisasi dengan organisasi.
I. Syariah Dan Perempuan
Ayat Yang Dianggap Diskriminatif
1. Laki-laki boleh beristri lebih dari 1 (QS 4:2), padahal ketika ayat tersebut diturunkan ketika itu laki-laki arab mempunya istri yang cukup banyak sampai 10. ayat ini adalah untuk membatasi jumlah istri yang saat itu telah membudaya mempunyai istri lebih dari 4 bahkan sampai 10. Jadi ayat ini adalah pembatasan. Bukannya untuk melegalitimasi poligami . walaupn itu memang di bolehkan dalam Islam tapi dalam konteks keadilan dan syarat keadilan. Tapi apakah ada laki-laki yang dapat berbuat adil, karena keadilan adalah bukan hal yang muda. Dan pada dasarnya laki-laki sulit untuk bersikap adil
2. Laki-laki Muslim boleh menikah dengan wanita ahli kitab tapi tidak sebaliknya Almaidah :5 Larangan menikah dengan orang musrik (QS 2 : 221 Warisan laki-laki dan perempuan beda 1:2 (QS Annisa 4 : 11 dan 176 Perempuan hanya boleh bersaksi dalam kasus perdata itupun ½ dari laki-laki Laki-laki punya otoritas menceraikan (talak) laki-laki pemimpin atas perempuan (QS 4:34)

Urutan Turunnya Wahyu Al-Qur'an

Urutan Turunnya Wahyu Al-Qur'an
Urutan Turun No. Surat Nama Surat Jumlah Ayat Tempat Turun
1 96 Al-'Alaq
19 Makkiyah
2 68 Al-Qalam
52 Makkiyah
3 73 Al-Muzzammil
20 Makkiyah
4 74 Al-Muddatstsir
56 Makkiyah
5 1 Al-aFaatihah
7 Makkiyah
6 111 Al-lahab
5 Makkiyah
7 81 At-Takwiir
29 Makkiyah
8 87 Al-A'laa
19 Makkiyah
9 92 Al-Lail
21 Makkiyah
10 89 Al-Fajr
30 Makkiyah
11 93 Adh-Duhaa
11 Makkiyah
12 94 Al-insyirah
8 Makkiyah
13 103 Al-'Ashr
3 Makkiyah
14 100 Al-'Aadiyaat
11 Makkiyah
15 108 Al-Kautsar
3 Makkiyah
16 102 At-Takaatsur
8 Makkiyah
17 107 Al-Maa'uun
7 Makkiyah
18 109 Al-Kaafiruun
6 Makkiyah
19 105 Al-Fiil
5 Makkiyah
20 113 Al-Falaq
5 Makkiyah
21 114 An-Naas
6 Makkiyah
22 112 Al-Ikhlas
4 Makkiyah
23 53 An-Najm
62 Makkiyah
24 80 Abasa
42 Makkiyah
25 97 Al-Qadr
5 Makkiyah
26 91 Asy-Syams
15 Makkiyah
27 85 Al-Buruuj
22 Makkiyah
28 95 At-Tiin
8 Makkiyah
29 106 Quraisy
4 Makkiyah
30 101 Al-Qaari'ah
11 Makkiyah
31 75 Al-Qiyaamah
40 Makkiyah
32 104 Al-Humazah
9 Makkiyah
33 77 Al-Mursalaat
50 Makkiyah
34 50 Qaaf
45 Makkiyah
35 90 Al-Balad
20 Makkiyah
36 86 Ath-Thaariq
17 Makkiyah
37 54 Al-Qamar
55 Makkiyah
38 38 Shaad
88 Makkiyah
39 7 Al-A'raaf
206 Makkiyah
40 72 Al-Jin
28 Makkiyah
41 36 Yaasiin
83 Makkiyah
42 25 Al-Furqaan
77 Makkiyah
43 35 Faathir
45 Makkiyah
44 19 Maryam
98 Makkiyah
45 20 Thaahaa
135 Makkiyah
46 56 Al-Waaqi'ah
96 Makkiyah
47 26 Asy-Syu'araa'
227 Makkiyah
48 27 An-Naml
93 Makkiyah
49 28 Al-Qashash
88 Makkiyah
50 17 Al-Israa'
111 Makkiyah
51 10 Yunus
109 Makkiyah
52 11 Huud
123 Makkiyah
53 12 Yusuf
111 Makkiyah
54 15 Al-Hijr
99 Makkiyah
55 6 Al-An'am
165 Makkiyah
56 37 Ash-Shaaffat
182 Makkiyah
57 31 Luqman
34 Makkiyah
58 34 Saba '
54 Makkiyah
59 39 Az-Zumar
75 Makkiyah
60 40 Al-Mu'min
85 Makkiyah
61 41 Fushshilat
54 Makkiyah
62 42 Asy-Syuura
53 Makkiyah
63 43 Az-Zukhruf
89 Makkiyah
64 44 Ad-Dukhaan
59 Makkiyah
65 45 Al-Jatsiyaah
37 Makkiyah
66 46 Al-Ahqaaf
35 Makkiyah
67 51 Adz-Dzariyaat
60 Makkiyah
68 88 Al-Ghaasyiyah
26 Makkiyah
69 18 Al-Kahfi
110 Makkiyah
70 16 An-Nahl
128 Makkiyah
71 71 Nuh
28 Makkiyah
72 14 Ibrahim
52 Makkiyah
73 21 Al-Anbiyaa'
112 Makkiyah
74 23 Al-Mu'minuun
118 Makkiyah
75 32 As-Sajdah
30 Makkiyah
76 52 At-Thuur
49 Makkiyah
77 67 Al-Mulk
30 Makkiyah
78 69 Al-Haaqqah
52 Makkiyah
79 70 Al-Ma'aarij
44 Makkiyah
80 78 An-Naba'
40 Makkiyah
81 79 An-Nazi'at
46 Makkiyah
82 82 Al-Infithaar
19 Makkiyah
83 84 Al-Insyiqaaq
25 Makkiyah
84 30 Ar-Ruum
60 Makkiyah
85 29 Al-'Ankabuut
85 Makkiyah
86 83 Al-Muthaffifiin
36 Makkiyah
87 2 Al-Baqarah
286 Madaniyah
88 8 Al-Anfaal
75 Madaniyah
89 3 Ali 'Imran
200 Madaniyah
90 33 Al-Ahzab
73 Madaniyah
91 60 Al-Mumtahanah
13 Madaniyah
92 4 An-Nisaa'
176 Madaniyah
93 99 Al-Zalzalah
8 Madaniyah
94 57 Al-Hadiid
29 Madaniyah
95 47 Muhammad
38 Madaniyah
96 13 Ar-Ra'd
43 Madaniyah
97 55 Ar-Rahmaan
78 Makkiyah
98 76 Al-Insaan
31 Madaniyah
99 65 Ath-Thalaaq
12 Madaniyah
100 98 Al-Bayyinah
8 Madaniyah
101 59 Al-Hasyr
24 Madaniyah
102 24 An-Nuur
64 Madaniyah
103 22 Al-Hajj
78 Madaniyah
104 63 Al-Munaafiquun
11 Madaniyah
105 58 Al-Mujaadilah
22 Madaniyah
106 49 Al-Hujuraat
18 Madaniyah
107 66 At-Tahriim
12 Madaniyah
108 64 At-Taghaabun
18 Madaniyah
109 61 Ash-Shaff
14 Madaniyah
110 62 Al-Jumu'ah
11 Madaniyah
111 48 Al-Fath
29 Madaniyah
112 5 Al-Maa-idah
120 Madaniyah
113 9 At-Taubah
129 Madaniyah
114 110 An-Nashr
3 Madaniyah
Referensi : Revelation Order of the Qur’an

Ayat-Ayat Makiyah dan Madaniyah

Ayat-Ayat Makiyah dan Madaniyah
Oleh: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullaahu
Al-Qur’an turun kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara berangsur-angsur dalam jangka waktu dua puluh tiga tahun dan sebagian besar diterima oleh Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Mekah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَقُرْءَانًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيْلاً
“Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan secara berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al-Israa’: 106)
Oleh karena itu, para ulama rahimahumullaahu membagi Al-Qur’an menjadi dua:
1. Al-Makiyah: ayat yang diturunkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebelum hijrah ke Madinah.
2. Al-Madaniyah: ayat yang diturunkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam setelah hijrah ke Madinah.
Berdasarkan hal tersebut maka firman Allah ‘Azza wa Jalla:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيْنًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agama bagimu.” (Al-Maa’idah: 3), termasuk ayat Madaniyah walaupun turun kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada haji wada’ di Arafah.
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dari ‘Umar radhiyallaahu ‘anhu bahwa dia berkata: Sungguh kami mengetahui hari dan tempat turunnya ayat tersebut kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yaitu saat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada di Arafah pada hari Jum’at.
Perbedaan Surat Makiyah dan Madaniyah dari Sisi Konteks Kalimat dan Tema
Perbedaan dari segi konteks kalimat:
- Sebagian besar surat Makiyah mempunyai cara penyampaian yang keras dalam konteks pembicaraan karena ditujukan kepada orang-orang yang mayoritas adalah pembangkang lagi sombong dan hal tersebut sangat pantas bagi mereka. Bacalah surat Al-Muddatstsir dan Al-Qamar. Sedangkan sebagian besar surat Madaniyah mempunyai penyampaian lembut dalam konteks pembicaraan karena ditujukan kepada orang-orang yang mayoritas menerima dakwah. Bacalah surat Al-Ma’idah!
- Sebagian besar surat Makiyah pendek dan di dalamnya banyak terjadi perdebatan (antara para Rasul dengan kaumnya), karena kebanyakan ditujukan kepada orang-orang yang memusuhi dan menentang, sehingga konteks kalimat yang digunakan disesuaikan dengan keadaan mereka. Baca surat Ath-Thur! Adapun surat Madaniyah kebanyakan panjang dan berisi tentang hukum-hukum tanpa ada perdebatan karena keadaan mereka yang menerima. Baca ayat dain (ayat tentang hutang) pada surat Al-Baqarah (ayat 282).
Perbedaan dari segi tema:
Sebagian besar surat Makiyah bertemakan pengokohan tauhid dan aqidah yang benar, khususnya berkaitan dengan tauhid uluhiyah dan penetapan iman kepada Hari Kebangkitan karena kebanyakan yang diajak bicara mengingkari hal itu. Sedangkan sebagian besar ayat Madaniyah berisi perincian ibadah-ibadah dan mu’amalah karena keadaan manusia waktu itu jiwanya telah kokoh dengan tauhid dan aqidah yang benar, sehingga membutuhkan perincian tentang berbagai ibadah dan mu’amalah.
Dalam ayat Madaniyah banyak disebutkan tentang jihad, hukum-hukumnya dan keadaan orang-orang munafiq karena keadaan yang menuntut demikian dimana pada masa tersebut telah disyari’atkan jihad dan mulai bermunculan orang-orang munafiq. Berbeda dengan isi ayat Makiyah.
Beberapa Faedah Mengetahui Surat Madaniyyah dan Makkiyyah
Mengetahui surat Madaniyah dan Makiyah merupakan salah satu bidang ilmu Al-Qur’an yang penting karena di dalamnya terdapat beberapa manfaat:
- Bukti ketinggian bahasa Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an Allah ‘Azza wa Jalla mengajak bicara setiap kaum sesuai keadaan mereka baik dengan penyampaian yang keras maupun lembut.
- Tampaknya hikmah pembuatan syari’at ini. Hal tersebut sangat nyata dimana Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur dan bertahap sesuai keadaan umat pada masa itu dan kesiapan mereka di dalam menerima dan melaksanakan syari’at yang diturunkan.
- Pendidikan terhadap para da’i di jalan Allah ‘Azza wa Jalla dan pengarahan bagi mereka agar mengikuti metode Al-Qur’an dalam tata cara penyampaian dan pemilihan tema yakni memulai dari perkara yang paling penting serta menggunakan kekerasan dan kelembutan sesuai tempatnya.
- Pembeda antara nasikh (hukum yang menghapus) dengan mansukh (hukum yang dihapus). Seandainya terdapat dua ayat yaitu Madaniyah dan Makiyah yang keduanya memenuhi syarat -syarat naskh (penghapusan) maka ayat Madaniyah tersebut menjadi nasikh bagi ayat Makiyah karena ayat Madaniyah datang belakangan setelah ayat Makiyah.
Hikmah Turunnya Al-Qur’an secara Berangsur-angsur
Telah jelas dari pembagian Al-Qur’an menjadi ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah menunjukkan bahwa Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur. Turunnya Al-Qur’an dengan cara tersebut memiliki hikmah yang banyak, di antaranya:
1. Pengokohan hati Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا لَوْلاَ نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيْلاً. وَلاَ يَأْتُوْنَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّ جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيْرًا
“Berkatalah orang-orang yang kafir: ‘Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?’, demikianlah (yaitu demikianlah Kami turunkan secara berangsur-angsur) supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil. Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (QS. Al-Furqaan: 32-33)
2. Memberi kemudahan bagi manusia untuk menghafal, memahami serta mengamalkan serta mengamalkannya karena Al-Qur’an dibacakan kepada mereka secara bertahap. Berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَقُرْءَانًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيْلاً
“Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al-Israa’: 106)
3. Memberikan semangat untuk menerima dan melaksanakan apa yang telah diturunkan di dalam Al-Qur’an karena manusia rindu dan mengharapkan turunnya ayat, terlebih lagi ketika mereka sangat membutuhkannya.
Seperti dalam ayat-ayat Ifk dan Li’an.
4. Penetapan syari’at secara bertahap sampai kepada tingkatan yang sempurna.
Seperti yang terdapat dalam ayat khamar yang mana manusia pada masa itu hidup dengan khamr dan terbiasa dengan hal tersebut, sehingga sulit jika mereka diperintahkan secara spontan meninggalkannya secara total.
Maka untuk pertama kali turunlah firman Allah ‘Azza wa Jalla yang menerangkan keadaan mereka:
يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيْهِمَا إِثْمٌ كَبِيْرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَّفْعِهِمَا
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: ‘Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan berupa manfa’at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.’” (QS. Al-Baqarah: 219)
Ayat ini membentuk kesiapan jiwa-jiwa manusia untuk pada akhirnya mau menerima pengharaman khamr, dimana akal menuntut untuk tidak membiasakan diri dengan sesuatu yang dosanya lebih besar daripada manfaatnya.
Kemudian yang kedua turun firman Allah ‘Azza wa Jalla:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا لاَ تَقْرَبُوا الصَّلَوةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُوْلُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisaa’: 43)
Dalam ayat tersebut terdapat perintah untuk untuk membiasakan meninggalkan khamar pada keadaan-keadaan tertentu yaitu waktu shalat.
Kemudian tahap ketiga turunlah firman Allah ‘Azza wa Jalla:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنْصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. إِنَّمَا يُرِيْدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوْقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَعَنِ الصَّلَوةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُّنْتَهُوْنَ. وَأَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاحْذَرُوا فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا عَلَى رَسُوْلِنَا الْبَلاَغُ الْمُبِيْنُ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamar, berjudi, beribadah kepada berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keuntungan. Sesungguhnya syaithan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) arak atau berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). Dan taatlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. Al-Maa’idah: 90-91)
Dalam ayat di atas terdapat larangan meminum khamar pada semua keadaan, hal itu sempurna setelah melalui tahap pembentukan kesiapan jiwa-jiwa manusia kemudian diperintah untuk membiasakan diri meninggalkan khamar pada keadaan tertentu.
(Dinukil dari أصول في التفسير karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, edisi Indonesia: Bagaimana Kita Memahami Al-Qur’an, penerjemah: Muhammad Qawwam, LC., Abu Luqman, penerbit: Cahaya Tauhid Press Malang, cet. ke-1 Muharram 1427H/Pebruari 2006M, hal. 33-38, untuk http://almuslimah.co.nr)
Oleh Syaikh Muhammad Ibnu Jamil Zainu

Mengetahui surat-surat atau ayat-ayat yang turun di Mekah (makiyah) dan yang turun di Madinah (madaniyah) penting pula untuk bisa memahami, menafsiri Al-Qur'an dengan benar. Itulah sebabnya, antusiasme para sahabat dan para tabi'in sangat besar terhadap hal itu, sehingga Ibnu Mas'ud pernah berkata, Demi Allah yang tidak ada ilah kecuali Dia, tidak ada surat pun dari kitabullah yang turun melainkan saya ketahui dimana ia turun. Dan tidak ada satupun ayat dari kitabullah yang turun kecuali saya tahu tentang apa ia turun. Seandainya saya tahu ada seseorang yang lebih tahu/alim dengan kitabullah daripada saya, dan orang itu dapat ditempuh /didatangi dengan kendaraan onta, pasti saya datangi dia. (HR. Bukhari)

Para sahabat biasa mengamalkan apa-apa yang mereka pelajari dari Qur'anul Karim. Jadi mereka tidak hanya mempelajari saja tanpa dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, tidak. Bahkan, kata Ibnu Mas'ud, seorang dari kami bila mempelajari sepuluh ayat Qur'an, belum mau menambahnya lagi sebelum benar-benar ia ketahui makna-makna sepuluh ayat itu dan mengamalkannya. Karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabada:

Bacalah Al-Qur'an dan amalkanlah serta jangan memakan (upah karena membacanya). (HR. Ahmad)

Kerena para sahabat bersungguh-sungguh dalam mempelajari Qur'an dan gigih mempraktekkan ajaran-ajarannya, maka tidak heran kalau Allah berkenan memenangkan mereka di atas semua manusia pada zamannya. Nah, kehancuran dan kemunduran kaum muslimin ini akan terus berlangsung sampai mereka mau kembali mempelajari kitabullah dan mengamalkan ajaran-ajaranya dalam kehidupan mereka.

Cara mengetahui surat Makiyah dan Madaniyah:

Dalam hal ini para ulama memakai dua metode dasar:

Pertama: Merujuk kepada riwayat-riwayat yang sah datangnya dari sahabat yang hidup sezaman dengan wahyu dan menyaksikan langsung turunnya wahyu tersebut. Atau riwayat dari para tabi'in yang bertemu dan mendengar dari sahabat perihal latar belakang turunnya, tempatnya, dan kejadian yang melatari turunnya suatu surat ataupun ayat.

Kedua: Berpegang pada ciri-ciri surat-surat atau ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah, lalu dikiaskan berdasarkan ijtihad untuk menentukan apakah suatu suarat atau ayat termasuk Madaniyah atau Makiyah. Misalnya di dalam surat Makiyah terdapat satu ayat yang mengandung ciri-ciri madaniyah, maka mereka simpulkan itu ayat Madaniyah. Begitu pula sebaliknya, kalau di dalam surat Madaniyah terdapat ayat yang mencerminkan ciri-ciri ayat yang turun di Mekah, maka itu dikatakan ayat Makiyah. Juga, bila di dalam satu surat tersebut terdapat ciri-ciri surat makiyah, maka itu mereka katakan surat Madaniyah. Para ulama itu mengatakan bahwa semua surat yang mengandung kisah-kisah para nabi dan umat-umat terdahulu, bisa dipastikan itu surat diturunkan di Mekah (Makiyah). Sedangkan semua surat yang mengandung perintah-perintah wajib, seperti shalat, zakat, puasa, atau hukum-hukum had/kriminal, seperti potong tangan, cambuk, dera, itu pasti surat diturunkan di Madinah (Madaniyah).

Definisi surat Makiyah dan Madaniyah:

1. Surat Makiyah ialah wahyu yang turun kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sebelum hijrah meskipun surat itu tidak turun di Mekah.

2. Qur'an Madaniyah ialah surat/ayat yang turun kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam setelah hijrah walaupun surat atau ayat itu turun di Mekah. Seperti yang turun pada waktu haji wada'. Misalnya ayat:

... Pada hari ini telah kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah kucukupkan nikmatKu kepadamu, dan telah Kuridhai Islam menjadi agamamu .... (Al Maidah:3)

Dalam satu riwayat dikisahkan, ada seorang pria Yahudi datang kepada Umar bin Khattab sembari berkata, Wahai Amirul Mukminin, ada satu ayat di dalam kitab suci anda yang biasa anda baca yang sekiranya ayat tersebut turun kepada kami kaum Yahudi tentu kami jadikan hari turunnya sebagai hari besar/raya. Ayat yang mana itu? tanya Umar. Orang itu menjawab, Yaitu ayat: alyauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu alaikum nikmati wa radhitu lakumuul islama diinan .... Umar lantas berkata, Sungguh saya tahu hari dan tempat di mana ayat itu turun. Ayat itu turun kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam di Arafah pada hari Jum'at. (HR. Bukhari)

Berdasarkan ayat tersebut terbantahlah pendapat orang yang mengatakan, bahwa mengadakan amalan-amalan ibadah yang baik (bid'ah hasanah), dibolehkan dalam Islam. Imam Malik berkata, siapa saja yang membuat bid'ah dalam Islam yang dianggapnya sebagai bid'ah hasanah, sungguh sama saja dia menganggap Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengkhianati risalah. Karena Allah telah berfirman, ...Hari ini Kusempurnakan untukmu agamamu ...

-------------AYAT-AYAT MAKKIYAH WAL MADANIYAH

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Usaha untuk menafsirkan al-qur’an secara benar, tidak terlepas dari keharusan untuk mengetahui tentang kapan ayat al-qur’an itu diturunkan, dimana dan kepada siapa ayat itu ditujukan, serta kondisi apa yang melatar belakangi turunnya ayat itu. Pengetahuan tentang hal itu akan dijelaskan secara rinci dalam ilmu Makki Wal Madani.
Oleh karena itu ilmu Makki wal Madani tidak dapat dipisahkan dari rangkaian ilmu-ilmu dalam disiplin ulumul qur’an. Ilmu ini menjelaskan tentang pengertian Makki dan Madani, cara-cara mengetahui Makki dan Madani, tanda-tandanya, macam-macamnya, serta faedah mengetahuinya.
Serta umum memang telah diketahui bahwa al-qur’an bahwa ayat-ayat al-qur’an itu terbagi dalam dua kelompok, yakni Makkiyah dan Madaniyah, namun bagaimana kriteria masing-masing kelompok itu, perlu dijelaskan secara rinci dan mendalam, untuk keperluan itu, untuk itu akan diuraikan hal-hal yang berkaitan dengan Makki dan Madani.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian surat Makki wal Madani?
2. Apa saja yang termasuk ciri has ayat Makkiyah wal Madaniyah?
3. Bagaimana cara mengetahui surat Makkiyah dan Madaniyah?
4. Terbagi berapakah ayat-ayat dan surat-surat al-qur’an?
5. Apa kegunaan mempelajari surat Makkiyah wal Madaniyah?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui arti atau difinisi surat Makki wal Madani!
2. Untuk mengetahui ciri-ciri has surat Makkiyah wal Madani!
3. Untuk mengetahui apakah surat itu Makki ataukah Madani!
4. Untuk mengetahui pembagian surat-surat dan ayat dalam al-qur’an!
5. Untuk mengetahui kegunaan mempelajari surat Makki wal Madani!


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Makkiyah dan Madaniyah

Para sarjana muslim mengemukakan empat perspektif dalam mendefinisikan terminologi Makkiyah dan Madaniyah. Keempat perspektif itu adalah : Masa turun (zaman an-nuzul), tempat (makan an-nuzul), objek pembicaraan (mukhathab) dan tema pembicaraan (maudu).

Artinya :
“Makkiyah ialah ayat-ayat yang turun sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, kendatupun bukan turun di Makkah, sedangkan Madaniyah adalah ayat-ayat yang turun sesudah Rasulullah hijrah ke Madinah, kendati bukan turun di Madinah. Ayat-ayat yang turun setetlah peristiwa hijrah di sebut Madaniyah walaupun turun di Makkah atau Arafah”
Dari perspektif tempat turun, mereka mendefinisikan kedua termologi di atas sebagai berikut :

Artinya :
“Makkiyah ialah ayat-ayat yang turun di Makkah dan sekitarnya seperti Mina, Arafah dan Hudabiyah, sedangkan Madaniyah adalah ayat-ayat yang turun di Madinah dan Sekitarnya, seperti Uhud, Quba, dan Sul’a”
Dari perpektif objek pembicaraan, mereka mendifinikan kedua termologi di atas sebagai berikut:

Artinya :
“Makkiyah adalah ayat-ayat yang menjadi khitab bagi orang-orang Makkah, sedangkah Madaniyah adalah ayat-ayat yang menjadi khitab bagi orang-orang Madinah”
Adapun pendefinisian Makkiyah dan Madaniyah dari perspektif tema pembicaraan akan disinggung lebih terinci dalam uraian karakteristik kedua klasifikasi tersebut.

B. Ciri-ciri Khas Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah

a. Tanda-tanda surah Makkiyah
Sesuatu surah/ayat adalah Makkiah, kalau/ayat itu mempunyai tanda-tanda sebagai berikut:
1. Dimulai dengan nida’ “ya ayyuhan nasu” dan sejenisnya
Contoh :

Semebahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertakwa.
2. Didalamnya terdapat lafadh: “kalla”

“……. Sekali-kali tidak, sesungguhnya itu adalah yang diucapkannya saja…….”
3. Didalamnya terdapat ayat-ayat sajdah, ada 15 ayat sajdah, (sunnat bersujud tilwah) antara lain :

“….. dan mereka bertasbih memujinya dan hanya kepadanyalah mereka bersujud”
4. Pada permulaannya teradapat huruf-huruf tahajji (huruf terpotong-potong), seperti huruf :
S. Shaad, S. as-Syura, S. as-Syua’ra, A. al-A’raf dan s. al-Ankabut.
5. Didalamnya terdapat cerita-cerita para Nabi dan Umat-umat terdahulu, selain surah al-Baqarah dan al-Maidah. Contohnya, antara lain seperti surah : Tunus, Yusuf, Huth, Ibrahim, al-Kahfi, Maryam. Thaha dan sebagainya.
6. Didalamnya berisi cerita-cerita terhadap kemusrikan dan penyembuhan-penyembuhan kepada selain Allah SWT.
7. Didalamnya berisi keterangan-keterangan adat kebiasaan orang-orang kafis dan orang musrik yang suka mencuri, merampok, membunuh, mengubur hidup-hidup anak perempuan dan lain sebagainya.
8. Didalamnya berisi penjelasan dengan bukti-bukti argumentasi dari alam ciptaan Allah SWT. Yang apat menyadarkan orang-orang kafir untuk untuk beriman kepada Allah SWT dan percaya kepada Rasul dan Kitab-kitab suci, hari kiamat dan sebagainya.
9. Berisi sejarah perinsip-perinsip akhlak yang mulia dan pranata sosial yang tinggi, yang dijelaskan dengan sangat mengagumkan sehingga menyebabkan orang benci kepada kekafiran, kemusrikan, kefasikan, kekerasan, taat setia, kasih sayang, ikhlas, hormat, rendah hati dan sebagainya.
10. Berisi nasehat-nasehat petunjuk dan ibarah-ibarat dari balik yang dapat menyadarkan bahwa kekafiran, kedurhakaan, dan pembangkangan umat itu hanya mengakibatkan kehancuran dan kesengsaraan saja.
11. Kebanyakan surat/ayat-ayatnya pendek-pendek, karena menggunakan bentuk ijaz (singkat padat). Bentuk tersebut ditujukan kepada orang-orang Quraisy Mekkah yang umumnya pakar bahasa Arab.
b. Madaniyah
a. Menjelaskan permasalahan ibadah, muamalah, hudud, bangunan rumah tangga, warisan, keutamaan jihadm kehidupan sosial, aturan-aturan pemerintah menangani perdamaian dan peperangan, serta persoalan-persoalan pembentukan hukum syara’.
b. Mengkhitabi Ahli Kitab Yahudi dan Nashrani dan mengajaknya masuk Islam, juga menguraikan perbuatan mereka yang telah menyimpangkan Kitab Allah dan menjauhi kebenaran serta perselisihannya setelah datang kebenaran.
c. Mengungkapkan langkah-langkah orang-orang munafik.
d. Surat dan sebagian ayat-ayatnya panjang-panjang serta menjelaskan hukum dengan terang dan menggunakan ushlub yang terang pula.
e. Didalamnya berisi hukum-hukum daraidl, seperti dalam surah: al-Baqarah, an-Nisa’, al-Maidah.
f. Berisi izin jihad fi sabilillah dan hukum-hukumnya, seperti talak, ataupun mengenai hadlonah, seperti dalam surah : al-Baqarah, al-Anfal, at-Taubah dan al-Hajj.
g. Berisi hukum-hukum Munakahat. Baik mengenai nikah, talak atau mengenai hadlonah, seperti, seperti dalam surah : al-Baqarah, Ali Imran, an-Nisa’, Al-Maidah, an-Nur, al-Mumtahanh, at-Thalak dan sebagainya.
h. Berisi hukum-hukum kemasyarakat, kenegaraan, seperti masalah permusyawaratan, kedisiplinan, kepemimpinan, pendidikan pergaulan dan sebagainya seperti dalam surah : al-Baqarah, Ali Imran, al-Maidah, al-Anfal, at-Taubah, al-Hjarat dan sebagainya.
i. Berisi da’wah (seruan) kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani serta penjelasan-penjelasan akidah mereka yang menyimpang, seperti dalam surah : al-Baqarah, Ali Imran, al-Fath, al-Hajt, al-Hjarat dan sebagainya.
j. Berisi ayat-ayat nida’ yang ditujukan kepada penduduk Madinah yang Islam dan Khithab (perintah) : “Ya Ayyuhal ladzini amanu” yang dalam al-Qur’an ada 219 ayat. Atau 219/6236 x 100% = 3,51%
k. Kebanyakan surah/ayat-ayatnya panjang-panjang sebab ditujukan kepada penduduk Madinah yang Islam yang orang-orangnya banyak yang kurang terpelajar, sehingga perlu dengan ungkapan yang luas agar jelas.

C. Cara-cara Mengetahui Makkiyah dan Madaniyah

Dalam menetapakan mana ayat-ayat al-Qur’an yang termasuk kategori Makkiyah dan Madaniyah, para sarjana Muslim berpegangan teguh pada dua perangkat pendekatan.
1. Pendekatan Transmisi (Periwayatan)
Dengan perangkat pendekatan tranmisi, para sarjana muslim merujuk kepada riwayat-riwayat valid yang berasal dari para sahabat, yaitu orang-orang yang besar kemungkinan menyaksikan turunnya wahyu. Atau para generasi tabiin yang saling berjumpa dan mendengarkan langsung dari para sahabat tentang aspek-aspek yang berkatan dengan proses kewahyuan al-Qur’an, termasuk di dalamnya adalah informasi di dalamnya adalah informasi kronologis al-Qur’an.
“Pengetahuan tentang Makkiyah dan Madaniyah banyak bisa dilcak pada otoritas sahabat dan tabiin saja.” Informasi itu tidak ada yang datang dari Rasulullah karena memang ilmunya tentang itu bukan merupakan kewajiban umat“
Seperti halnya hadits-hadits Nabi telah terekam dalam kodifikasi-kodifikasi kitab hadits, para sarjana muslim pun telah merekam informasi dari para sahabat dan tabiin tentang Makkiyah dan Madaniyah dalam kitab-kitab tafsir bi al-matsur, tulisan-tulisan tentang asbab an-nuzul, pembahasan-pembahasan ilmu-ilmu al-qur’an dan jenis-jenis tulisan lainnya.
Otoritas para sabahat dan para tabiin dalam mengetahui informasi kronologi al-qur’an dapat dilihat dari stateman-statemennya. Dalam salah satu riwayah al-Bukhari, Ibn Mas’ud berkata :

Artinya :
“Demi Dzat yang tidak ada Tuhan selain-Nya, tidak ada salah satu pun dari kitab Allah yang turun, kecuali aku tahu untuk siapa dan di mana diturunkan, seandainya aku tahu tempat orang yang lebih paham darku tentang kitab Allah pasti aku akan menjumpainya.”
Dalam riwayat lain disebut bahwa Ibn Abbas berkata, ketika ditanya oleh Ubai bin Ka’ab mengenai ayat yang diturunkan di Madinah, “Terdapat dua puluh surat yang diturunkan di Madinah, sedangkan jumlah surat sisanya di Mekkah” As-Suyuthi menyediakan beberapa lembar dalam kitab al-‘itqan-nya untuk merekam riwayat-riwayat dari sahabat dan tabiin mengenai perangkat periwayatan dalam mengetahui kronologis al-Qur’an.
2. Pendekatan Analogi (Qiyas)
Ketika melakukan kategorisasi Makkiyah dan Madaniyah, para sarjana muslim penganut pendekatan analogi bertolak dari ciri-ciri spesifik dari kedua klasifikasi itu. Dengan demikian, bila dalam surat Makkiyah terdapat sebuah ayat yang memiliki ciri-ciri khusus Madaniyyah, ayat ini termasuk kategori ayat Madaniyah. Tentu saja, para ulama telah menetapkan tema-tema sentral yang ditetapkan pula sebagai ciri-ciri khusus bagi kedua klasifikasi itu. Misalnya mereka menetapkan tema kisah para Nabi dan umat-umat terdahulu sebagai ciri khusus Makkiyyah; Tema faraid dan ketentuan had sebagai ciri khusus Madaniyyah.

D. Klasifikasi Ayat-ayat dan Surat-surat al-Qur’an

Pada umumnya para ulama membagi macam-macam surah al-Qur’an menjadi dua kelompok yaitu : surah-surah Makkiyah dan Madaniyah. Mereka berbeda pendapat dalam menetapkan jumlah masing-masing kelompoknya. Sebagian ulama mengatakan, bahwa jumlah surah Makkiyah ada 94 surah, sedangkan surah Madaniyah ada 20 surah. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa jumlah surah Makkiyah ada 84 surah, dan yang Madaniyah 30.
Dr. Abdullah Syahhatah dalam bukunya al-Qur’an Wat Tafsier mengetakan surah-surah yang disepakati para ulama surah Makkiyah ada 82 surah, dan surah Madaniyah ada 20 surah Madaniyah. Dan ada sebagian surah lain yang tergolong Makkiyah atau Madaniyah. Tetapi di dalam berisi sedikit ayat yang lain statusnya. Karena itu, dari segi Makkiyah dan Madaniyah ini maka surah-surah al-Qur’an sebagai empat macam yaitu : 13
a. Surah-surah Makkiyah murni
Yaitu surah-surah Makkiyah yang seluruh ayat-ayatnya juga berstatus Makkiyah semua, tidak ada satupun yang Madaniyah, surah-surah yang berstatus murni ini seluruhnya ada 58 surah yang berisi 2074 ayat. Contohnya seperti surah-surah al-Fatehah, Yunus, ar-Rahdu, al-Anbiya’, al-Muykminun, an-Namisat, al-Fatir, surah-surah yang pendek-penduk pada jus 30 kecuali surah an-Nashr.
b. Surah-surah Madaniyah murni
Yaitu surah-surah Madaniyah yang seluruh ayat-ayatnya pun Madaniyah semua. Tidak ada satu ayatpun yang Makkiyah. Surah-surah yang berstatus Madaniyah murni ini seluruhnya da 18 surah yang terdiri dari 737 ayat. Seperti surah-surah al-Imran, an-Nisa’, an-Nur, al-Ahzab, al-Hujarat, al-Muntahanah, az-Zalzalah dan sebagainya.
c. Surah-surah Makkiyah yang berisi ayat Makkiyah
Yaitu surah-surah yang sebetulnya kebanyakannya ayatnya adalah Makkiyah, segingga berstatus Makkiyah, tetapi didalamnya ada sedikit ayatnya yang berstatus Madaniyah, surah-surah yang demikian ini dalam al-Qur’an ada 32 surah yang terdiri dari 2.699 ayat. Contohnya, antara lain seperti surah : al-An’am, al-A’raf, al-Waqiah, Hud, Yusuf, Ibrahim dan sebagainya.
d. Surah-surah Madaniyah yang berisi ayat Makkiyah.
Yaitu surah-surah yang kebanyakan ayat-ayatnya berstatus Madaniyah, surah-surah yang demikian ini, dalam al-Qur’an Madaniyah, surah-surah yang demikian ini, dalam al-Qur’an hanya ada 6 surah yang terdiri dari 726 ayat, yaitu surah-surah : al-Baqarah, al-Maidah, al-Anfal, at-Taubah, al-Hajj dan surah Muhammad dan surah al-Qital.
Jadi dari beberapa uraian di atas diketahui bahwa dalam al-Qur’an terdapat : 114 surah dan 6236 ayat 7.

E. Kegunaan Mempelajarinya

Kegunaannya antara lain :
1. Mudah diketahui mana ayat-ayat yang turun lebih dahulu dan mana ayat-ayat yang turun belakangan dari kitab suci al-Qur’an.
2. Mudah diketahui mana ayat-ayat al-Qur’an yang hukum bacaannya telah dinazakh (dihapus dan diganti), dan mana ayat-ayat yang menaskhkannya, khususnya bila ada dua ayat yang menerangkan hukum sesuatu masalah, tetapi ketetapan hukumnya bertentangan dari yang satu dengan yang lain. Dalam hal seperti itulah harus dicari mana ayat yang turun lebih dulu, yaitu mana yang Makkiyah, sehingga kemungkinan ayat itulah yang telah dihapus dan diganti hukum atau bacaannya oleh ayat yang turun kemudian atau yang Madaniyah sebagai nasikh atau penghapus/penggantinya.
3. Mengetahui dan mengerti sejarah pensyari’atan hukum-hukum Islam (Tarikhut Tasysyrie’) yang amat bijaksana dalam menetapkan peraturan-peraturan.
4. Mentehaui Hikmah disyariatkannya sesuatu hukum (hikmatut tasrie’). Sebab dengan ilmu Makki dan Madani dapat diketahui tarikh Tasyrie’ yang dalam mensyariatkan hukum-hukum Islam itu secara bertahap, sehingga dapat pula diketahui mengapa sesuatu hukum itu disyariatkan hukum-hukum Islam itu secara demikian. Seperti diharamkannya minuman keras, yang penetapan hukumnya itu secara bertahap. Mula-mula hanya diterangkan ada bahayanya yang lebih besar dari pada manfaatnya, dilarang menjelang shalat, kemudian secara tegas diharamkan dan dilarangnya.
5. Dengan mengetahui ilmu Makki wal Madani yang dapat mengetahui himatut Tasyrie’ itu, akan bisa menambah kepercayaan orang terhadap kewahyuan al-Qur’an, karena melihat kebijaksanaannya dalam menetapkan hukum-hukum ajarannya seacra bertahap sehingga mudah dimengertu dihayati dan diamalkan orang.
6. Meningkatkan keyakinan orang terhadap kesucian, kemurnian dan keaslian al-Qur’an, melihat hukum-hukum ajarannya ataupun bentuk tulisannya dan kata-kata serta kalimatnya masih tetap orisinil, tidak berkurang atau bertambah satu huruh atau ketentuan satu huruf pun. Dengan demikian betul-betul merupakan realisasi dari jaminan Allah SWT sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah SWT :
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya kami pulalah yang memeliharanya” 20).
7. Mengetahui perbedaan dan tahap-tahap da’wah Islamiyah, Tahap-tahap da’wah Islamiyah yang diterangkan dalam ayat-ayat Makkiyah adalah berbeda dengan isi dan ajaran dari ayat-ayat Madaniyah, seperti yang telah diterangkan dalam tanda-tanda surah Makkiyah dan Madaniyah di atas.
8. Mengetahui perbedaan uslub-uslub (bentuk bahasa) al-Qur’an yang dalam surah-surah Makkiyah berbeda dengan yang dalam surah-surah madaniyah.sebab dalam surah-rusah Makkiyah yang ditujukan kepada orang-orang kafir Quraiys, yang banyak pakar ahli bahasa Arabnya memakai uslub singkat padat sedang dalam surah-surah Madaniyah yang ditujukan kepada penduduk Madaniyah yang heteroen, yang banyak orang-orang asing belum mengenal Bahasa Arab, menggunakan ungkapan panjang lebar agar mudah diserap mereka.
9. Dengan mengetahui ilmu Makki dan Madani situasi dan kondisi masyarakat kota Makkah dan Madinah dapat diketahui, khususnya pada waktu turunya ayat-ayat al-Qur’an. Sedangkan dalam pembahasan lain juga dikutib tentang faedah-faedah mempelajari surat Makkiyah dan Madaniyah di antara yang berpendapat Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin beliauy mengemukakan bahwa ada 4 faedah dalam mempelajari surah Makkiyah dan Madaniyah yaitu :
a. Nampak jelas sastra al-Qur’an pada puncak keindahannya, yaitu ketika setiap kaum diajak berdialog yang sesuai dengan keadaan objek yang didakwahi ; dari ketegasan, kelugasan, kelunakan dan kemudahan.
b. Nampak jelas puncak tertinggi hari hikmah pensyariatan diturunkannya secara berangsung-angsur sesuai dengan prioritas terpenting kondisi obyek yang di dakwahi serta kesiapan mereka dalam menerima dan taat.
c. Pendidikan dan pengajaran bagi para mubaligh serta pengarahan mereka untuk mengikuti kandungan dan konteks al-Qur’an dalam berdakwah, yaitu dengan mendahulukan yang terpenting di antara yang penting serta menggunakan ketegasan dan kelunakan pada tempatnya masing-masing.
d. Membedakan antara nasikh dan mansukh ketika terdapat dua buah ayat Makkiyah dan Madaniyah, maka lengkaplah syarat-syarat nasakh karena ayat Madaniyah adalah sebagai nasikh (penghapus) ayat Makkiyah disebabkan ayat Madaniyah turun setelah ayat Makkiyah.



BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata Makki dan Madani tidak hanya dibedakan oleh tempat turunya, tetapi juga dibedakan oleh isi, uslub dan lafadz yang digunakan. Selain itu, tidak seluruh surat masuk dalam kelompok Makkiyah atau Madaniyah, tetapi ada beberapa perincian lebih lanjut sesuai dengan kondisi ayat-ayat dan kejadian yang mengiri turunya ayat tersebut.
Oleh karena itu mengetahuyi Makki dan Madani merupakan suatu hal yang penting, baik dalam penafsirah dalam al-Qur’an pelaksanaan dakwah Islam maupun perjalanan sejarah pesyaratan hukum-hukum Islam.

B. Saran
Dari beberapa penjelasan di atas tentang penulisan Makkiyah dan Madaniyah pasti tidak terlepas dari esahan penulisan dan rangkaian kalimat dan penyusunan Makalah ini menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan seperti yang diharapkan oleh para pembaca dalam khususnya pembimbing mata kuliah ilmu ulumul qur’an, oleh karena itu penulis makalah ini mengharap kepada para pembaca mahasiswa dan dosen pembimbing mata kuliah ini terdapat kritik dan saran yang sifatnya konstruktif dalam terselesainya makalah yang selanjutnya.

sejarah turunnya Al Qura'n



Izzatul Jannah - Irfan Hidayatullah





Sejarah Turunnya Al Qur’an

Sebenarnya, malaikat Jibril telah menyampaikan fi rman-fi rman Allah atau Al Qur’an kepada Nabi Muhammad dengan beberapa cara. Berikut ini adalah beberapa cara turunnya Al Qur’an kepada Nabi Muhammad
saw.
• Malaikat Jibril memasukkan wahyu itu ke dalam hati Nabi Muhammad saw. tanpa memperlihatkan wujud aslinya. Rasulullah tiba-tiba saja merasakan wahyu itu telah berada di dalam hatinya.
• Suatu ketika, malaikat Jibril juga pernah menampakkan dirinya sebagai seorang laki-laki dan mengucapkan
kata-kata di hadapan Nabi saw. Itulah salah satu metode lain yang digunakan malaikat Jibril untuk menyampaikan Al Qur’an kepada Nabi Muhammad saw.
• Yang selanjutnya, wahyu juga turun kepada Nabi Muhammad saw. seperti bunyi gemerincing lonceng. Menurut Rasulullah, cara inilah yang paling berat dirasakan, sampai-sampai beliau mencucurkan keringat meskipun wahyu itu turun di musim yang sangat dingin.
• Cara yang lain adalah malaikat Jibril turun membawa wahyu kepada Nabi Muhammad saw. dengan menampak
kan wujudnya yang asli. Rasulullah saw. senantiasa menghafalkan setiap wahyu yang diterimanya. Beliau mampu mengulangi wahyu tersebut dengan tepat, sesuai dengan apa yang telah disampai kan oleh malaikat Jibril. Dalam hal ini, malaikat Jibril juga berperan untuk mengontrol hafalan Al Qur’an Rasulullah saw. Al Qur’an diturunkan dalam dua periode. Periode pertama dinamakan Periode Mekah. Turunnya Al Qur’an pada periode pertama ini terjadi ketika Nabi saw. bermukim di Mekah (610 – 622 M) sampai Nabi Muhammad saw. melakukan hijrah. Ayat-ayat yang diturunkan pada masa itu, kemudian disebut dengan ayat-ayat Makiyah, yang berjumlah 4.726 ayat dan terdiri atas 89 surat. Periode yang kedua adalah Periode Madinah. Sebuah periode yang terjadi pada masa setelah Nabi Muhammad saw. hijrah ke Madinah (622 – 632 M). Ayat-ayat yang turun dalam periode ini kemudian dinamakan ayat-ayat Madaniyah, meliputi 1.510 ayat dan mencakup 25 surat. Ayat-ayat Makiyah maupun Madaniyah yang terdapat dalam Al Qur’an memiliki beberapa perbedaan yang menjadi ciri khas. Berikut ini adalah ciri-ciri yang terdapat pada kedua kategori ayat tersebut.
Ciri-Ciri Ayat-Ayat Makkiyah dan Madaniyyah
Makkiyah
• Ayat-ayatnya pendek.
• Diawali dengan yâ ayyuhan-nâs (wahai manusia).
• Kebanyakan mengandung masalah tauhid, iman
kepada Allah Swt., masalah surga dan neraka, dan masalah-masalah yang menyangkut kehidupan akhirat (ukhrawi).

Madaniyah
• Ayat-ayatnya panjang.
• Diawali dengan yâ ayyuhalladzîna âmanû (wahai
orang-orang yang beriman).
• Kebanyakan tentang hukum-hukum agama (syariat), orang-orang yang berhijrah (muhajirin) dan kaum penolong (anshar), kaum munafik, serta ahli kitab.
Nabi Muhammad saw. menerima wahyunya yang pertama di sebuah gua benama Gua Hira. Gua tersebut terletak di pegunungan sekitar Kota Mekah. Wahyu yang pertama kali beliau terima adalah lima ayat pertama surat Al Qur’an. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 17 Ramadhan (6 Agustus 610), yaitu ketika Nabi Muhammad saw. berusia 40 tahun. Rasulullah saw. menyampaikan Al Qur’an secara lang sung kepada para sahabatnya –orang-orang Arab asli– sehingga mereka dapat memahaminya berdasarkan naluri mereka. Jika mereka mengalami ketidakjelasan dalam memahami suatu ayat, mereka menanyakan langsung kepada Rasulullah saw. Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud. “Ketika ayat ini turun (surat Al An’âm, ayat 82) yang artinya, ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik .... Para sahabat gelisah dan khawatir kemudian bertanya kepada Rasulullah, ‘Ya, Rasulullah siapakah di antara kita yang tidak berbuat zalim pada dirinya sendiri?’ Nabi menjawab, ‘Kezaliman di sini tidak seperti yang kamu pahami. Tidakkah kamu pernah mendengar apa yang dikata kan oleh seorang hamba yang saleh, ‘... Sesungguhnya menyekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.’ (QS Luqman, 31:3.)” Jadi, yang dimaksud kezaliman adalah kemusyrikan. Ini adalah salah satu cara menafsirkan ayat yang diajarkan oleh Rasulullah, yakni menafsirkan satu ayat dengan ayat yang lain. Rasulullah saw. juga pernah menafsirkan kepada para sahabat beberapa ayat, seperti disampaikan Muslim dari Uqbah bin Amir Al Juhani. Dia berkata sebagai berikut. Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda di atas mimbar, ’Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki ... Al Anfâl, 8: 60).’ Lalu beliau bersabda, ‘Ingatlah bahwa kekuatan yang dimaksud di sini adalah memanah.’” Inilah yang menjadi dasar salah satu ilmu tafsir ayat ditafsirkan dengan hadits. Para sahabat, pada masa itu, sangat antusias untuk menerima Al Qur’an, menghafal, dan memahaminya. Amalan tersebut merupakan kehormatan bagi mereka. Dikatakan oleh Annas r.a., “Seseorang di antara kami telah membaca dan menghafal surat Al Baqarah dan Âli Imrân. Orang itu menjadi besar menurut pandangan kami. Diriwayatkan dari Abu Abdurrahman As Sulami sebagai berikut. Mereka yang membacakan Al Qur’an kepada kami, seperti Utsman bin Aff an, Abdullah bin Mas’ud, serta yang lain menceritakan bahwa mereka bila belajar dari Nabi saw. SEPULUH AYAT, tidak akan melanjutkannya lagi sebelum mengamalkan ilmu dan amal yang ada di dalamnya. Mereka berkata, ‘Kami mempelajari Al Qur’an berikut ilmu dan amalnya sekaligus.’”Dari riwayat-riwayat ini, terlihat bahwa menghafal Al Qur’an dan mempelajarinya tidak akan efektif jika tidak diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Al Qur’an tidak akan memberikan manfaat optimal dalam meraih ridha-Nya jika hanya dihafal di tenggorokan saja.
Izzatul Jannnah - Irfan Hidayatullah - Bukunya 10 Bersaudara Bintang Al Qur'an.


SEJARAH AL QURAN


Apakah itu al-Quran.
• "Quran" menurut pendapat yang paling kuat seperti yang dikemukakan Dr. Subhi Al Salih bererti "bacaan", asal kata qara’a. Kata Al Qur’an itu berbentuk masdar dengan arti isim maf’ul yaitu maqru’ (dibaca).
• Di dalam Al Qur’an sendiri ada pemakaian kata "Qur’an" dalam arti demikian sebagal tersebut dalam ayat 17, 18 surah (75) Al Qiyaamah:
Artinya:
• ‘Sesungguhnya mengumpulkan Al Qur’an (didalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggunggan kami. kerana itu jika kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikut bacaannya".
Kemudian dipakai kata "Qur’an" itu untuk Al Quran yang dikenal sekarang ini.
Adapun definisi Al Qur’an ialah: "Kalam Allah s.w.t. yang merupakan mukjizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad dan yang ditulis di mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah"
Dengan definisi ini, kalam Allah yang diturunkan kepada nabi-nabi selain Nabi Muhammad s.a.w. tidak dinamakan Al Qur’an seperti Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s. atau Injil yang diturun kepada Nabi Isa a.s. Dengan demikian pula Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadis Qudsi, tidak pula dinamakan Al Qur’an.

Bagaimanakah al-Quran itu diwahyukan.
• Nabi Muhammad s.a.w. dalam hal menerima wahyu mengalami bermacam-macam cara dan keadaan. di antaranya:
1, Malaikat memasukkan wahyu itu ke dalam hatinya. Dalam hal ini Nabi s.a.w. tidak melihat sesuatu apapun, hanya beliau merasa bahwa itu sudah berada saja dalam kalbunya. Mengenai hal ini Nabi mengatakan: "Ruhul qudus mewahyukan ke dalam kalbuku", (lihat surah (42) Asy Syuura ayat (51).
2. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi berupa seorang laki-laki yang mengucapkan kata-kata kepadanya sehingga beliau mengetahui dan hafal benar akan kata-kata itu.
3. Wahyu datang kepadanya seperti gemerincingnya loceng. Cara inilah yang amat berat dirasakan oleh Nabi. Kadang-kadang pada keningnya berpancaran keringat, meskipun turunnya wahyu itu di musim dingin yang sangat. Kadang-kadang unta beliau terpaksa berhenti dan duduk karena merasa amat berat, bila wahyu itu turun ketika beliau sedang mengendarai unta. Diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit: "Aku adalah penulis wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Aku lihat Rasulullah ketika turunnya wahyu itu seakan-akan diserang oleh demam yang keras dan keringatnya bercucuran seperti permata. Kemudian setelah selesai turunnya wahyu, barulah beliau kembali seperti biasa".
• 4. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi, tidak berupa seorang laki-laki seperti keadaan no. 2, tetapi benar-benar seperti rupanya yang asli. Hal ini tersebut dalam Al Qur’an surah (53) An Najm ayat 13 dan 14.
Artinya:
• Sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada kali yang lain (kedua). Ketika ia berada di Sidratulmuntaha.

Hikmah diturunkan al-Quran secara beransur-ansur
Al Qur’an diturunkan secara beransur-ansur dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari atau 23 tahun, 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah. Hikmah Al Qur’an diturunkan secara beransur-ansur itu ialah:
1. Agar lebih mudah difahami dan dilaksanakan. Orang tidak akan melaksanakan suruhan, dan larangan sekiranya suruhan dan larangan itu diturunkan sekaligus banyak. Hal ini disebutkan oleh Bukhari dan riwayat ‘Aisyah r.a.
2. Di antara ayat-ayat itu ada yang nasikh dan ada yang mansukh, sesuai dengan permasalahan pada waktu itu. Ini tidak dapat dilakukan sekiranya Al Qur’an diturunkan sekaligus. (ini menurut pendapat yang mengatakan adanya nasikh dan mansukh).
3. Turunnya sesuatu ayat sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi akan lebih mengesankan dan lebih berpengaruh di hati.
4. Memudahkan penghafalan. Orang-orang musyrik yang telah menayakan mengapa Al Qur’an tidak diturunkan sekaligus. sebagaimana tersebut dalam Al Qur’an ayat (25) Al Furqaan ayat 32, yaitu:
• mengapakah Al Qur’an tidak diturunkan kepadanya sekaligus
• Kemudian dijawab di dalam ayat itu sendiri:
• demikianlah, dengan (cara) begitu Kami hendak menetapkan hatimu
5. Di antara ayat-ayat ada yang merupakan jawaban daripada pertanyaan atau penolakan suatu pendapat atau perbuatan, sebagai dikatakan oleh lbnu ‘Abbas r.a. Hal ini tidak dapat terlaksana kalau Al Qur’an diturunkan sekaligus.

Ayat Makkiyah dan ayat Madaniyah
• Ditinjau dari segi masa turunnya, maka Al Qur’an itu dibahagi atas dua golongan:
1.• Ayat-ayat yang diturunkan di Mekah atau sebelum Nabi Muhammad s.a.w. hijrah ke Madinah dinamakan ayat-ayat Makkiyyah.
2. Ayat-ayat yang diturunkan di Madinah atau sesudah Nabi Muhammad s.a.w. hijrah ke Madinah dinamakan ayat-ayat Madaniyyah.
Ayat-ayat Makkiyyah meliputi 19/30 dari isi Al Qur’an terdiri atas 86 surah, sedang ayat-ayat Madaniyyah meliputi 11/30 dari isi Al Qur’an terdiri atas 28 surah.
Perbezaan ayat-ayat Makiyyah dengan ayat-ayat Madaniyyah ialah:
1. Ayat-ayat Makkiyyah pada umumnya pendek-pendek sedang ayat-ayat Madaniyyah panjang-panjang; surat Madaniyyah yang merupakan 11/30 dari isi Al Qur’an ayat-ayatnya berjumlah 1,456, sedang ayat Makkiyyah yang merupakan 19/30 dari isi Al Qur’an jumlah ayat-ayatnya 4,780 ayat.
Juz 28 seluruhnya Madaniyyah kecuali ayat (60) Mumtahinah, ayat-ayatnya berjumlah 137; sedang juz 29 ialah Makkiyyah kecuali ayat (76) Addahr, ayat-ayatnya berjumlah 431. Surat Al Anfaal dan surat Asy Syu’araa masing-masing merupakan setengah juz tetapi yang pertama Madaniyyah dengan bilangan ayat sebanyak 75, sedang yang kedua Makiyyah dengan ayatnya yang berjumlah 227.
2. Dalam ayat-ayat Madaniyyah terdapat perkataan "Ya ayyuhalladzi na aamanu" dan sedikit sekali terdapat perkataan ‘Yaa ayyuhannaas’, sedang dalam ayat ayat Makiyyah adalah sebaliknya.
3. Ayat-ayat Makkiyyah pada umumnya mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ancaman dan pahala, kisah-kisah umat yang terdahulu yang mengandung pengajaran dan budi pekerti; sedang Madaniyyah mengandung hukum-hukum, baik yang berhubungan dengan hukum adat atau hukum-hukum duniawi, seperti hukum kemasyarakatan, hukum ketata negaraan, hukum perang, hukum internasional, hukum antara agama dan lain-lain.

Nama-nama al-Quran
Allah• memberi nama Kitab-Nya dengan Al Qur’an yang berarti "bacaan".
• Arti ini dapat kita lihat dalam surat (75) Al Qiyaamah; ayat 17 dan 18 sebagaimana tersebut di atas.
Nama• ini dikuatkan oleh ayat-ayat yang terdapat dalam surat (17) Al lsraa’ ayat 88; surat (2) Al Baqarah ayat 85; surat (15) Al Hijr ayat 87; surat (20) Thaaha ayat 2; surat (27) An Naml ayat 6; surat (46) Ahqaaf ayat 29; surat (56) Al Waaqi’ah ayat 77; surat (59) Al Hasyr ayat 21 dan surat (76) Addahr ayat 23.
Menurut pengertian ayat-ayat di atas Al Qur’an itu dipakai sebagai nama bagi Kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w.
• Selain Al Qur’an, Allah juga memberi beberapa nama lain bagi Kitab-Nya, sepcrti:
1. Al• Kitab atau Kitaabullah: merupakan synonim dari perkataan Al Qur’an, sebagaimana tersebut dalam surat (2) Al Baqarah ayat 2 yang artinya; "Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya…." Lihat pula surat (6) Al An’aam ayat 114.
• 2. Al Furqaan: "Al Furqaan" artinya: "Pembeda", ialah "yang membedakan yang benar dan yang batil", sebagai tersebut dalam surat (25) Al Furqaan ayat 1 yang artinya: "Maha Agung (Allah) yang telah menurunkan Al Furqaan, kepada hamba-Nya, agar ia menjadi peringatan kepada seluruh alam"
3.• Adz-Dzikir. Artinya: "Peringatan". sebagaimana yang tersebut dalam surat (15) Al Hijr ayat 9 yang artinya: Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan "Adz-Dzikir dan sesungguhnya Kamilah penjaga-nya" (Lihat pula surat (16) An Nahl ayat 44. Dari nama yang tiga tersebut di atas, yang paling masyhur dan merupakan nama khas ialah "Al Qur’an". Selain dari nama-nama yang tiga itu dan lagi beberapa nama bagi Al Qur’an. lmam As Suyuthy dalam kitabnya Al Itqan, menyebutkan nama-nama Al Qur’an, diantaranya: Al Mubiin, Al Kariim, Al Kalam, An Nuur.

Surah-surah dalam al-Quran
• Jumlah surat yang terdapat dalam Al Qur’an ada 114; nama-namanya dan batas-batas tiap-tiap surat, susunan ayat-ayatnya adalah menurut ketentuan yang ditetapkan dan diajarkan oleh Rasulullah sendiri (tauqifi).
Sebagian dari surat-surat Al Qur’an mempunyai satu nama dan sebagian yang lain mempunyai lebih dari satu nama, sebagaimana yang akan diterangkan dalam muqaddimah tiap-tiap surat.
• Surat-surat yang ada dalam Al Qur’an ditinjau dari segi panjang dan pendeknya terbagi atas 4 bagian, yaitu:
1.• ASSAB’UTHTHIWAAL, dimaksudkan, tujuh surat yang panjang Yaitu: Al Baqarah, Ali Imran, An Nisaa’, Al A’raaf, Al An’aam, Al Maa-idah dan Yunus.
2. Al MIUUN, dimaksudkan surat-surat yang berisi kira-kira seratus ayat lebih seperti: Hud, Yusuf, Mu’min dsb.
3. Al MATSAANI, dimaksudkan surat-surat yang berisi kurang sedikit dari seratus ayat seperti: Al Anfaal. Al Hijr dsb.
4. AL MUFASHSHAL, dimaksudkan surat-surat pendek. seperti: Adhdhuha, Al Ikhlas, AL Falaq, An Nas. dsb.
g. Huruf-huruf Hijaaiyyah yang ada pada permulaan surat.
• Di dalam Al Qur’an terdapat 29 surat yang dimulai dengan huruf-huruf hijaaiyyah yaitu pada surat-surat:
(1)• Al Baqarah, (2) Ali Imran, (3) Al A’raaf. (4) Yunus, (5) Yusuf, (7) Ar Ra’ad, (8) lbrahim, (9) Al Hijr, (10) Maryam. (11) Thaaha. (12) Asy Syu’araa, (13) An Naml, (14) Al Qashash, (15) A1’Ankabuut, (16) Ar Ruum. (17) Lukman, (18) As Sajdah (19) Yasin, (20) Shaad, (21) Al Mu’min, (22) Fushshilat, (23) Asy Syuuraa. (24) Az Zukhruf (25) Ad Dukhaan, (26) Al Jaatsiyah, (27) Al Ahqaaf. (28) Qaaf dan (29) Al Qalam (Nuun).
Huruf-huruf hijaaiyyah yang terdapat pada permulaan tiap-tiap surat tersebut di atas, dinamakan ‘Fawaatihushshuwar’ artinya pembukaan surat-surat.
Banyak pendapat dikemukakan oleh para Ulama’ Tafsir tentang arti dan maksud huruf-huruf hijaaiyyah itu, selanjutnya lihat not 10, halaman 8 (Terjemah)
Bentuk Lahiri al-Qur’an: Kajian atas Ayat dan Surat
Dalam konteks sejarah awal kaum muslim, teks al-Qur’an merupakan yang berupa mushaf seperti yang dapat dilihat sekarang ini adalah ayat-ayat yang terpisah dan berserakan.http://maizuddin.wordpress.com/artikel/bentuk-lahiri-al-quran-kajian-atas-ayat-dan-surat/ - _ftn1 Ayat-ayat yang turun selama masa kerasulan Muhammad saw—yang antara satu atau beberapa ayat dengan ayat yang lain diselingi beberapa waktu—tidaklah segera dikodifikasikan pada masa itu. Tetapi, atas perintah Nabi, di samping menyuruh hafalkan kepada para sahabat, ayat-ayat tersebut ditulis di atas pelepah-pelepah kurma, batu-batu dan tulang-tulang unta (al-Shabuni, 1985: 53). Penulisan ini, seperti yang diceritakan Ibnu Ishaq, langsung diharapan Rasul sendiri (al-Zanjani, 1986: 65). Tiba pada masa khalifah Abu Bakar, dilatarbelakangi oleh kekhawatiran Umar bin Khatab atas banyaknya huffazh yang syahid, ayat-ayat yang berserakan tersebut lalu dikumpulkan dan di tulis kembali hingga menjadi sebuah mushaf al-Qur’an.
Mushaf al-Qur’an ini terdiri sejumlah surat dengan nama-nama tersendiri dan juga sejumlah ayat dengan nomor urut tersendiri. Pembagian al-Qur’an ke dalam surat dan ayat tentu memiliki makna yang jelas. Setidaknya di samping menjadi lebih sistematis, akan memudahkan orang untuk membaca, mempelajari dan menghafalnya al-Qur’an. Sunnah mengharuskan orang yang shalat atau khutbah untuk membaca ayat al-Qur’an yang tidak boleh kurang dari satu ayat tidaklah menjadi sulit, tetapi malah sebaliknya akan dapat terpenuhi dengan mudah. Demikian juga dengan keharusan bagi orang yang belum mampu membaca al-Fatihah dalam shalatnya, maka ia dengan mudah dapat membaca tujuh ayat lainnya.
Di samping pembagian ke dalam surat dan ayat, al-Qur’an juga dibagi dalam bagian-bagian atau juz yang sama yang keseluruhannya berjumlah 30 juz. Pembagian al-Qur’an menjadi 30 juz berkaitan dengan jumlah hari dalam bulan Ramadhan, ketika satu juz al-Qur’an dibaca setiap harinya. Tetapi, bagian atau juz al-Qur’an tampaknya kurang diperhitungkan untuk menjadi pembicaraan dalam pembahasan ilmu-ilmu al-Qur’an. Berbeda dengan pembicaraan tentang surat dan ayat, banyak persoalan dan komentar tentangnya bahkan satu sama lain saling berbeda bahkan bertolak belakang.
Tulisan ini mencoba menyajikan persoalan dan komentar ulama sekitar surat dan ayat-ayat al-Qur’an. Tetapi tulisan ini tidak disajikan seluas mungkin hingga menghabiskan banyak halaman. Karena keterbatasan tempat, tulisan ini hanya menyajikan bagian-bagian dirasa cukup penting seperti batasan ayat dan surat, jumlah, susunan surat dan ayat, huruf-huruf muqatha’ah dan lain-lain.
BATASAN SURAT DAN AYAT
Dalam leksikologi Arab, kata surat (jamak: suwar) mengandung banyak arti, yaitu: bangunan yang menjulang tinggi ke langit, kedudukan/tempat dan keutamaan (Louis Ma’luf, tt: 362). Juga bisa berarti pagar jika terambil dari kata سور . Seperti yang dikatakan W. Montgomery Watt yang dikutipnya dari CF. Jeffery, bahwa pandangan umum asal kata ini adalah bahasa Ibrani, surah, yang berarti suatu deretan bekas batu bata di dinding dan bekas pepohonan anggur. (Watt, 1991: 90). Dari makna ini surat disimpulkan menjadi “serangkaian bagian” atau “bab” (Inggris: chapter). Tetapi, meskipun penyimpulan ini relevans, Watt mencari alternatif lain. Karena dari beberapa tantangan yang dimajukan, al-Qur’an meminta orang yang tidak membenarkan dirinya mendatangkan sebuah surat (QS. 10: 38), sepuluh surat (QS. 11: 13) dan sebuah kitab (QS. 28: 49) yang semisal dengannya. Dari beberapa permintaan al-Qur’an ini jelas bahwa makna yang dimaksudkan adalah sesuatu yang seperti wahyu atau kitab suci. Alternatif yang diajukan Watt adalah bahwa kata surat terambil dari bahasa Siria, surta yang bermakna “tulisan teks kitab suci”, atau bahkan “kitab suci”. (Watt: 1991: 90).
Alternatif Watt yang menyatakan bahwa surat yang bermakna tulisan atau teks kitab suci mungkin dapat diterima, tetapi bila itu diartikan kitab suci secara sebagai suatu kesatuan tentu saja kita akan mengalami kesulitan bila al-Qur’an meminta untuk didatangkan sepuluh surat berarti yang dimaksud adalah sepuluh kitab suci yang sama. Sungguh tantangan yang vulgar tak masuk akal dan tak dapat diterima. Padahal tantangan al-Qur’an merupakan tantangan yang sunguh-sungguh.
Pada sisi terminologis, kita tidak melihat batasan surat dalam perspektif yang berbeda. Pada umumnya memberikan batasan yang sama tentu dengan sedikit penjelasan tambahan yang berbeda. Al-Zarkasyi misalnya menjelaskan pengertian surat dengan “sekelompok ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai permulaan dan penutup” (al-Zarqasyi, t.t: I, 263). Al-Zarqani memberikan sedikit tambahan bahwa sekelompok ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai permulaan dan akhir itu adalah berdiri sendiri (Al-Zarqani, 1988: I, 350). Tetapi, meskipun sekelompok ayat dimaksud berdiri sendiri, namun satu sama lain dipercaya berhubungan erat saling melengkapi, sehingga ada yang mengatakan bahwa surat al-Fatihah adalah pengatra surat al-Baqarah, dan surat al-Baqarah adalah pengantar surat al-Nisa’ dan seterusnya.
Batasan surat yang dikemukakan oleh pakar-pakar ilmu al-Qur’an sebagai sekelompok ayat-ayat tampaknya cukup beralasan. Karena al-Qur’an sendiri tampaknya menghendaki pengertian demikian. Al-Qur’an menggunakan kata surat dalam ungkapannya sebanyak 7 kali dalam bentuk mufrad yang tersebar 3 surat, yaitu surat al-Tawbah: 64, 86, dan 124, surat al-Nur: 1 dan surat Muhammad: 20 dengan dua kali penyebutan. Sedang bentuk jamaknya hanya satu kali digunakan al-Qur’an dalam surat Hud: 13. Penggunaan kata surat adalah dalam pengertian yang sama yakni merujuk pada sekumpulan ayat-ayat al-Qur’an.
Surat-surat al-Qur’an antara satu sama lainnya, baik dalam mushaf yang ditulis tangan maupun cetak, dipisahkan dengan sebuah muqaddimah yang diletakkan di awal surat. Dalam muqaddimah ini, biasanya pertama-tama disebutkan nama surat, kemudian pernyataan tentang penanggalannya, yakni diskripsi sederhana tentang surat tersebut apakah sebagai surat Makiyah atau Madaniyahhttp://maizuddin.wordpress.com/artikel/bentuk-lahiri-al-quran-kajian-atas-ayat-dan-surat/ - _ftn2, dan diakhiri dengan catatan tentang jumlah ayat. Muqaddimah ini seperti yang dikatakan Watt hanya perlengkapan keserjanaan belaka (Watt, 1991: 93). Setelah muqaddimah disusul dengan basmalah (بسم الله الرحمن الرحيم) pada setiap surat. Pengecualian penggunanaan frase tersebut hanya pada surat 9. Penulisan basmalah pada setiap surat tentu tak dapat dipandang sebagai hasil penyuntingan yang belakangan, tetapi merupakan bentuk asli yang datang dari Muhammad saw. Hal ini cukup beralasan karena pada surat 27 atau surat al-Naml ayat 30 dimana Sulaiman mengirim sepucuk surat kepada Ratu Balqis, ungkapan basmalah mengawali suratnya seakan-akan kepala yang memadai untuk sebuah dokumen yang berasal dari seorang nabi.
Panjang pendek surat-surat al-Qur’an sangat beragam, tetapi dalam susunannya setelah surat al-Fatihah (pembukaan) surat-surat al-Qur’an dimulai dengan surat yang sangat panjang dengan ayat-ayat yang panjang, kemudian semakin lama semakin pendek dengan ayat-ayat yang pendek pula. Surat al-Baqarah yang terletak sesudah surat al-Fatihah merupakan surat yang terpanjang dengan jumlah ayat sebanyak 286 ayat atau lebih dari dua juz, sedangkan surat terpendek surat al-Kawtsar dengan 3 ayat yang pendek-pendek. Walaupun surat al-Kawtsar ini adalah surat yang terpendek dengan ayat-ayatnya yang pendek namun tidaklah terletak pada penghujung atau penutup surat-surat al-Qur’an, tetapi menempati nomor urut 108 dari 114 surat semuanya.
Sementara itu, kata ayat yang juga digunakan oleh al-Qur’an beberapa kali merujuk pada makna yang berbeda-beda. Di antara makna-makna etimologis ayat tersebut adalah: tanda (QS. al-Hijr: 77; al-Nahl: 11, 13, 65, 67, dan 69; al-Baqarah, 248); mukjizat (QS. al-Baqarah: 211); ibrah atau pelajaran (QS. Hud: 102, 103 dan al-Furqan: 37); sesuatu yang menakjubkan (QS. al-Mukmin: 50); bukti atau dalil (QS. al-Rum: 20, 21, 23, dan 24).
Akan tetapi, secara terminologis para ulama memberi batasan ayat dengan sekelompok kata yang mempunyai permulaan dan akhir yang berada dalam suatu surat al-Qur’an (al-Zarqani, 1988: I, 350). Batasan ini didukung oleh al-Qur’an sendiri yang mengungkapkan ayat dengan pengertian tersebut sehingga makana etimologis tetap relevans dengan pengertian terminologis. Salah satunya adalah dalam surat Yusuf ayat 1:
الر تلك ءايات الكتاب المبين
Alif lam ra. Ini adalah ayat-ayat kitab (al-Qur’an) yang nyata (dari Allah)
Seperti halnya surat, panjang pendek ayat juga sangat beragam. Dalam beberapa surat, pada umumnya surat-surat panjang, ayat-ayat pun yang panjang dan menggugah. Sedangkan dalam surat-surat pendek yang terletak di bagian akhir al-Qur’an, surat-suratnya pun pendek, padat dan mengena. Namun kenyataan seperti itu bukanlah aturan yang mutlak. Sebab, surat 98 atau surat al-Baiyinah berisi 6 ayat panjang untuk ukuran surat-surat yang bersamanya. Demikian pula pada surat 26 atau surat al-Syu’ara yang tergolong surat yang panjang berisi lebih dari 100 ayat yang pendek-pendek. Pada ayat-ayat yang panjang yang terdapat dalam surat yang panjang, bentuk ungkapannya sangat beragam, tak dapat ditentukan matra yang baku, baik pada suku-suku kata atau pada tekanan. Pada umumnya akhiran-akhiran dari ayat tersebut adalah bunyi yang dibentuk dengan akhiran kata benda dan kata kerja berbentuk jamak, -un dan –in, diselang-seling dengan kata bentukan yang secara teknis disebut fail, salah satu bentuk yang paling umum di dalam bahsa Arab. Sebagai contoh تعقلون، يتفكرمن dan ظالمون، كافرون. Dan inilah bentuk yang umum dan paling banyak digunakan. Tetapi juga terkadang dengan akhiran vokal panjang a. Sedangkan pada ayat-ayat yang pendek-pendek memiliki irama dan ritma yang juga sangat bervariasi. Terkadang semua atau sebagian besar ayat-ayatnya berakhiran ud, ha dan lain-lain.
PENAMAAN SURAT
Surat-surat al-Qur’an tersebut memiliki nama-nama tersendiri. Sebuah surat boleh jadi mempunyai satu atau beberapa nama. Surat al-Tawbah misalnya, disebut juga dengan surat al-Bara’ah, dan al-Buhus. Surat al-Insan dinamai pula dengan surat al-Dahr, dan lain-lain. Tetapi, nama-nama surat tersebut tidaklah menunjukan judul atau tema pokok dari surat-surat tersebut—meskipun tak dapat dipungkiri bahwa setiap surat mempunyai tema—tetapi hanya dijadikan sebagai alat metode identifikasi. Nama-nama surat ini diambil dari kata yang mencolok atau tidak lazim di dalamnya. Biasanya kata ini muncul hampir di awal surat, tetapi tidak demikian selamanya. Surat 16 misalnya, diberi nama dengan surat al-Nahl (lebah) tetapi tidak disebutkan di dalamnya hingga pada ayat 68 lebih separuh dari surat tersebut; bahkan ayat ini (16: 68) merupakan satu-satunya bagian dari al-Qur’an yang berbicara tentang al-Nahl. Senada dengan ini, surat 26 diberi nama dengan al-Syu’ara, kata yang disebutkan al-Qur’an di dalam ayat 224 surat tersebut dan merupakan bagian paling akhir dari surat tersebut.
Jelas sekali bahwa nama-nama surat ini tidak berasal dari al-Qur’an, tetapi diperkenalkan oleh para-pakar al-Qur’an. Tampaknya tidak ada aturan yang umum dalam pemilihan nama-nama surat tersebut. Orang-orang menggunakan kata apa saja yang paling menonjol dalam suatu surat. Sebagian ulama mengasumsikan bahwa nama-nama surat al-Qur’an ini adalah petunjuk Rasul (tawqifi). (petunjuk Rasul). Sedangkan sebagian lagi percaya bahwa penamaan surat tersebut berdasarkan jitihad sahabat yang diambil dari pokok pembicaraan dalam surat itu. (Ismail, tt: 66). Tetapi, tampaknya yang lebih masuk akal adalah bahwa Nabi sangat berperan dalam mensosialisasikan nama-nama surat. Tidak mungkin Nabi saw sebagai transmiter dan penerjemah al-Qur’an untuk para sahabat tidak memiliki nama-nama surat sebagai alat identifikasi. Yang jelas sejak masa yang paling awal Nabi dan sahabat-sahabat telah mengetahui dan mempopulerkan nama-nama surat al-Qur’an.
Di samping nama-nama yang secara an sich diberikan kepada surat-surat al-Qur’an untuk kepentingan identifikasi, juga diberi nama-nama kelompok untuk surat al-Qur’an, baik yang terkait dengan periode kerasulan Muhammad seperti surat Makiyah dan surat Madaniyah, ataupun panjang pendeknya surat-surat al-Qur’an tersebut. Pengelompokan surat-surat al-Qur’an yang terkait dengan periode kerasulan dimaksudkan untuk kepentingan kronologis turunnya surat atau ayat untuk kepentingan penafsiran al-Qur’an, seperti yang akan dijelaskan selanjutnya. Sementara penamaan surat-surat yang berdasarkan panjang pendeknya surat tampaknya hanya untuk identifikasi dalam kerangka yang lebih luas. Al-thiwal, misalnya adalah surat-surat yang dikenal dengan tujuh surat yang panjang yang terdapat pada permulaan mushaf, yaitu surat 2 – 8 (surat al-Baqarah, Ali Imran, al-Maidah, al-Nisa’, al-An’am, al-A’raf dan al-Anfal). Al-mi’un adalah nama yang diberikan kepada surat-surat yang ayatnya seratus atau lebih sedikit. Al-matsani, dikenal sebagai surat-surat yang jumlah ayatnya yang tidak mencapai 100 ayat. Sedangkan al-mufashshal adalah surat-surat yang lebih pendek. Disebut dengan mufashshal karena banyak fashal (pemisah) di antara surat-surat tersebut dengan basmalah (al-Zarqani, 1988 : I, 352).http://maizuddin.wordpress.com/artikel/bentuk-lahiri-al-quran-kajian-atas-ayat-dan-surat/ - _ftn3
JUMLAH SURAT DAN AYAT
Tampaknya tidak banyak pendapat yang bermunculan tentang jumlah surat al-Qur’an di banding dengan pendapat tentang jumlah ayat al-Qur’an. Hal ini mungkin disebabkan karena pada setiap surat dipisahkan dengan basmalah yang menjadi bagian awal setiap surat (Abu Syuhbah, 1996: 276). Sedangkan dalam menentukan jumlah ayat terdapat peluang berbeda pendapat yang bertolak dari penentuan basmalah sebagai ayat dari setiap surat dan fashilah serta ra’s al-ayat seperti yang akan dikemukakan berikutnya.
Pendapat yang paling umum diterima, jumlah surat al-Qur’an seperti dalam mushaf Usman adalah 114 surat. Tetapi pendapat yang diterima dari Mujahid surat al-Qur’an adalah 113 surat dengan menggabungkan surat al-Anfal dengan surat al-Tawbah menjadi satu surat. Hasan, ketika ditanya apakah surat al-Bara’ah dan surat al-Anfal itu satu surat atau dua surat, menjawab “satu surat”. Ibnu Mas’ud dalam mushafnya terdapat 112 surat. Ini karena ia tidak memasukan dua surat terakhir (mu’awidzatani) (al-Sayuthi, t.t: 67; Abu Syuhbah, 1996: 288) yang oleh Montgomery Watt dikatakan sebagai jimat-jimat pendek (Watt, 1991: 91). Sementara sebagian di antara ulama Syi’ah menetapkan bahwa jumlah surat al-Qur’an 116. Hal ini karena mereka memasukan surat qunut yang dinamai surat al-khaf dan al-hafd yang oleh ditulis oleh Ubay di kulit al-Qur’an. (Ash-Shiddieqy, 1984: 58).
Mengenai jumlah ayat, secara umum dapat dinyatakan bahwa para ulama menghitungnya tidak kurang dari 6200 ayat. Tetapi, secara rinci mereka berbeda pendapat. Orang-orang Madinah menyuguhkan dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa seluruh ayat al-Qur’an berjumlah 6217 ayat. Sedangkan pendapat yang kedua menyatakan bahwa seluruhnya berjumlah 6214 ayat. Orang-orang Mekah menghitung ayat al-Qur’an secara keseluruhan sebanyak 6220 ayat. Sedang orang-orang Kufah menyatakan 6226 ayat dan orang-orang Basrah menyatakan jumlah ayat al-Qur’an seluruhnya adalah 6205 ayat. Sementara pendapat yang beredar di masyarakat awam bahwa ayat al-Qur’an seluruhnya berjumlah 6666 ayat tampaknya kurang dapat diterima. Angka ini barangkali lebih bernuansa mitos atau keramat dibanding dengan realita konkrit.
Seperti yang dikemukakan sebelumnya, bahwa perbedaan penetapan basmalah sebagai ayat dari surat-surat al-Qur’an atau tidak menyebabkan ulama berbeda pendapat dalam menentukan jumlah ayat al-Qur’an. Seperti yang dinyatakan oleh Hamka, ada dua pendapat tentang basmalah ini. Sebagian besar sahabat dan ulama salaf berpendapat bahwa basmalah adalah ayat pertama dari setiap surat. Dari golongan sahabat yang berpendapat demikian antara lain: Ibnu Abbas, Ali bin Abi Thalib, Abdullah ibn Umar dan Abu Hurairah. Sedangkan dari golongan ulama salaf antara lain: Ibnu Katsir, al-Kasa’i, al-Syafi’i, al-Tsauri dan Ahmad. Sedangkan sebagian lagi menyatakan bahwa basmalah bukan ayat pertama dari setiap surat, tetapi hanya sebagai pemisah antara satu surat dengan surat lainnya. Di antara mereka yang berpendapat seperti ini adalah Imam Malik dan al-Auza’i. (Hamka, 1982: 74).
Di samping itu, serta penentuan fashilah dan ra’s al-ayat juga menjadi sebab perbedaan pendapat ulama dalam menghitung jumlah ayat. Fashilah adalah istilah yang diberikan kepada kalimat yang mengakhiri ayat dan merupakan akhir ayat. Sedangkan ra’s al-ayat adalah akhir ayat yang padanya diletakkan tanda fashal (pemisah) antara ayat yang satu dengan ayat yang lain. Fashilah ini terkadang berupa ra’s al-ayat dan terkadang tidak. Dengan demikian, setiap ra’s al-ayat adalah fashilah dan tidak setiap fashilah adalah ra’s al-ayat (Manna’ al-Qaththan, tt: 153).http://maizuddin.wordpress.com/artikel/bentuk-lahiri-al-quran-kajian-atas-ayat-dan-surat/ - _ftn4 Fashilah dan ra’s al-ayat ini mungkin mirip dengan sajak, seperti yang dikenal dalam ilmu Badi’ (stalistik). Tetapi ulama tidak menggunakan istilah sajak karena al-Qur’an bukan karya sastrawan atau ungkapan para nabi, tetapi adalah wahyu Allah yang tentu lebih tinggi kedudukannya dibanding sajak. Di samping itu, fashilah yang dimaksud dalam al-Qur’an adalah meruntutkan makna dan bukan fashilah itu sendiri yang dimaksud. Sementara sajak, maka sajak itu sendiri yang dimaksudkan (dalam suatu perkataan) dan baru kemudian arti perkataan itu dialihkan kepadanya, sebab hakikat sajak ialah menguntai kalimat dalam satu irama.
SUSUNAN SURAT DAN AYAT
Para ulama berbeda pendapat tentang susunan surat-surat al-Qur’an. Ada tiga pendapat yang muncul tetang persoalan ini, yaitu: pertama, susunan surat-surat al-Qur’an seluruhnya berdasarkan petunjuk Rasul (tawqifi). Kedua, susunan surat-surat al-Qur’an adalah ijtihad para sahabat; dan ketiga, susunan surat-surat al-Qur’an sebagian bersifat tawqifi dan sebagian lagi adalah ijtihad sahabat.
Pendapat yang pertama ini didukung oleh ulama-ulama seperti Abu Ja’far bin Nuhas, Ibnu al-Hasr dan Abu Bakar al-Anbari (Abu Syuhbah, 1996: 293). Alasan yang mendukung pendapat ini adalah riwayat Abu Syaibah bahwa Nabi pernah membaca beberapa surat al-mufashshal dalam satu rakaat menurut susunan mushaf al-Qur’an. Di samping itu juga pernyataan Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh al-Bukhari bahwa ia pernah menyebutkan surat Makiyah, surat Bani Israil, al-Kahfi, Maryam, Thaha dan al-Anbiya’ yang pertama kali ia pelajari—secara beruntut seperti urutan sekarang ini (Manna’ Qathahan, tt: 141). Al-Zarqani menambahkan alasan golongan ini dengan mengatakan bahwa para sahabat telah sepakat terhadap mushaf Usman dan tidak ada seorang pun dari sahabat yang berkeberatan atau menyangkalnya. Kesepakatan ini tak terjadi kecuali karena pengumpulan ini sifatnya tawqifi. Sebab bila seandainya berdasarkan ijtihad maka para sahabat tentu akan berpegang teguh pada pendapat mereka yang berlainan. (al-Zarqani, 1988: I, 355).
Pendapat kedua dinisbahkan kepada imam Malik (Muhammad Bakar Al- Ismail, tt: 67). Dan al-Zarqani menyebut bahwa pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama dan termasuk di dalamnya seperti al-Qadhi dan Abu Bakar (Al-Zarqani, 1988: I, 355 )Argumen pendapat ini adalah adanya beberapa mushaf pribadi beberapa orang sahabat yang sistematika surat tersebut saling berbeda satu sama lain. Mushaf Ibnu Mas’ud misalnya, dimulai dengan surat al-fatihah, al-Baqarah, an-Nisak, Ali Imran dan seterusnya. Demikian juga dengan mushaf Ubay. Mushaf Ali disusun berasarkan urutan turunnya ayat, karenanya dimulai dengan surat al-Alaq, kemudian al-Mudaststir, Nun, Qalam dan seterusnya(Manna al-Qattan, tt: 142).
Ketika Usman ditanya oleh para sahabat, kenapa ia mengambil kebijaksanaan untuk menggabungkan surat al-Anfal dengan surat al-Bara’ah menjadi satu dengan tidak meletakkan basmalah di antara kedua surat tersebut, ia menjawab bahwa itu hanya perkiraannya karena kisah yang terdapat dalam surat al-Anfal serupa dengan kisah dalam surat al-Bara’ah. Dan Rasulullah sampai akhir hayatnya tidak menjelaskan bahwa surat al-Bara’ah merupakan bagian dari surat al-Anfal (al-Zarqani,1988: I, 354).
Pendapat ketiga beralasan dengan adanya beberapa hadis yang menunjukkan bahwa sebagian surat-surat al-Qur’an tertibnya berdasarkan petunjuk Rasul dan juga pada sisi lain terdapatnya beberapa mushaf sahabat yang susunan surat-suratnya berlainan. Abu Muhammad Ibnu Athiyah mengatakan bahwa sebagian besar surat-surat al-Qur’an diketahui susunannya pada masa nabi seperti al-Sab’u al-Thiwal dan Mufasshal, sedangkan sebagian lain adalah berdasarkan ijtihad para sahabat nabi (al-Zarqani, 1988: I, 357).
Dari ketiga pendapat yang dikemukakan di atas Manna’ al-Qaththan cenderung pada pendapat yang pertama, karena menurutnya pendapat ini lebih kuat dari pendapat lainnya. Terhadap argumen pendapat kedua ia mengatakan bahwa adanya beberapa mushaf pribadi sebagian sahabat yang berbeda itu merupakan hasil ikhtiar mereka sendiri sebelum al-Qur’an dikumpulkan (Manna’ al-Qaththan, tt: 144).
Tetapi penulis secara pribadi cenderung pada pendapat al-Baihaqi yang juga diikuti oleh al-Sayuthi (t.t: 65) yang mengatakan bahwa susunan surat al-Qur’an pada dasarnya adalah tawqifi, hanya surat al-Anfal dan al-Bara’ah yang hanya ijtihad para sahabat. Hal ini karena secara jelas terlihat adanya ijtihad Usman seperti yang disebutkan dalam hadis di atas. Di samping itu al-Qur’an sebelumnya telah turun ke lauh mahfudh dan telah berupa kitabyang tentunya tersusun secara sistematis. Namun demikian, terlepas dari perbedaan tertib surat tersebut, sistematika surat tidaklah mengindikasikan suatu kemestian dan keharusan orang membaca dan mempelajari sesuai dengan susunan surat tersebut.
Adapun tertib ayat al-Qur’an oleh ulama seperti yang dikatakan al-Sayuthi—disepakati urutannya berdasarkan tawqifi dari Rasul. Karena setiap kali turun ayat nabi selalu memberikan petunjuk supaya meletakkan ayat tersebut pada tempat tertentu atau pada surat yang di dalamnya disebutkan seperti ini. Usman bin Abi al-Ash mengatakan:
Saya duduk di samping Rasul, tiba-tiba pandangannya menjadi tajam lalu kembali seperti semula kemudian memerintahkan aku meletakan ayat ini di tempat ini surat ini.
Ibnu Zubair berkata, aku mengatakan kepada Usman bahwa ayat 23 surat al-Baqarah telah dimansukhkan oleh ayat lain, tetapi mengapa anda menuliskannya atau membiarkannya dituliskan. Beliau menjawab: “Kemenakanku, aku tidak mengubah sesuatu pun dari tempatnya”.
Di samping itu diriwayatkan pula bahwa Jibril senantiasa mengulangi dan memeriksa al-Qur’an yang telah disampaikannya kepada Muhammad setiap tahun pada bulan Ramadhan, bahkan sampai dua kali pada tahun-tahun terakhir hidup Muhammad saw. Pengulangan Jibril terkahir ini adalah seperti susunan surat-surat al-Qur’an yang dikenal sekarang.
Baik surat-surat maupun ayat-ayat, selalu mempunyai korelasi (munasabah). Penjelasan tentang korelasi surat-surat dan ayat-ayat al-Qur’an biasanya dapat dilihat dalam kitab-kitab tafsir.
SURAT DAN AYAT YANG PERTAMA TURUN
Tampaknya tak ada perbedaan pendapat di antara ulama tentang bulan turunnya al-Qur’an pertama kali. Semua mereka sepakat menyatakan bahwa al-Qur’an turun pada bulan Ramadhan. Surat al-Baqarah 185, surat al-Dukhan 1-6 dan surat al-Qadr menuntun para pakar ilmu al-Qur’an menyatakan al-Qur’an turun pada bulan Ramadhan. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang ayat dan surat yang pertama sekali turun. Setidaknya ada empat pendapat yang berkembang tentang ini.
Pendapat pertama, yang dipandang oleh Manna’ al-Qaththan sebagai pendapat yang terkuat, mengatakan bahwa ayat al-Qur’an yang pertama kalinya diturunkan adalah ayat 1 sampai 5 surat al-‘Alaq, yang turun di Gua Hira. Pendapat ini didukung oleh hadis Aisyah yang diriwayatkan oleh dua syaikh ahli hadis—Bukhari dan Muslim—serta ahli hadis lainnya.http://maizuddin.wordpress.com/artikel/bentuk-lahiri-al-quran-kajian-atas-ayat-dan-surat/ - _ftn5 Pendapat kedua, ayat yang pertama kali turun adalah ayat-ayat surat al-Mudatsir. Pendapat ini juga berdasarkan hadis, yakni hadis dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari Jabir ketika ia ditanya tentang ayat yang pertama diturunkan. Ia menjawab al-Mudatsir. Hadis ini juga diriwayatkan oleh dua syaikh ahli hadis. Pendapat ketiga menyatakan ayat yang pertama kali turun adalah surat al-Fatihah. Sedangkan pendapat keempat menyatakan basmalah sebagai ayat yang pertama sekali turun, dengan alasan karena basmalah merupakan turun mendahului setiap surat. (Manna’ Qaththan: 67).
Pendapat pertama tampaknya memang lebih kuat sebab boleh jadi Jabir tidak mendengar kisah permulaan turunnya wahyu sehingga ia menyangka bahwa surat al-Mudatstsir adalah ayat al-Qur’an yang pertama turun. Sebab surat al-Mudatstsir adalah surat yang turun setelah ayat 1-5 surat al-‘Alaq—setelah wahyu terhenti beberapa lama. Di samping itu, hadis Jabir sendiri juga mengindikasikan bahwa al-Mudatstsir turun setelah peristiwa yang terjadi di Gua Hira. Nabi melihat malaikat yang pernah datang kepadanya di langit. Karena ketakutan ia segera pulang dan meminta Khadijah untuk menyelimutinya dan kemudian turunlah ayat: “Wahai orang berselimut; bangkitlah, lalu berilah peringatan”.http://maizuddin.wordpress.com/artikel/bentuk-lahiri-al-quran-kajian-atas-ayat-dan-surat/ - _ftn6
Sedangkan dalam menetapkan ayat yang terakhir turun para ulama juga tidak sepakat. Dari beberapa pendapat yang banyak berkembang dapat dicatat bahwa ayat yang terakhir turun adalah: surat al-Baqarah ayat 278, 281, 282; Ali Imran ayat 190; al-Nisa’ ayat 93, 176; al-Maidah ayat 3; al-Tawbah ayat 128 dan surat al-Nashr.
Menarik untuk diamati bahwa komentar-komentar sekitar ayat yang terakhir turun disandarkan kepada hadis-hadis sahabat (hadis mawquf). Mungkin sekali ini adalah apa yang mereka dengar dari Rasul, tetapi juga mungkin ijtihad mereka sendiri. Akan tetapi, surat al-Maidah ayat 3 tampaknya paling tepat untuk menunjukan ayat terakhir kali turun dari seluruh ayat-ayat al-Qur’an. Sebab pada lahirnya ayat ini mengindikasikan telah sempurnanya agama dalam artian seluruh perundang-undangan telah ditetapkan. Dan telah dinyatakan pula Allah telah mencukupkan nikmat-Nya serta telah redha pada Islam, agama yang dibawa Muhammad saw. Sedangkan ayat-ayat lain yang dinyatakan sebagai ayat yang terakhir turun selain surat al-Maidah tersebut di atas mungkin sekali terkait dengan sesuatu konteks seperti ayat terakhir turun tentang riba, perundang-undangan, dan lain-lain sebagainya.
SURAT/AYAT MAKIYYAH DAN MADANIYYAH
Seperti yang telah dikemukakan, bahwa alat identifikasi kronologis surat atau ayat untuk kepentingan penafsiran dan pemahaman adalah Makiyyah dan Madaniyyah. Persoalan ini tampaknya bagian yang penting dan tak dapat diabaikan begitu saja. Itu sebabnya pakar-pakar tafsir diharuskan untuk memiliki pengetahuan tentang surat atau ayat Makiyyah dan Madaniyyah. Dapat ditegaskan bahwa surat atau ayat Makiyyah adalah surat atau ayat yang diturunkan sebelum hijrah, meskipun ayat atau surat tersebut turun di luar Mekah, termasuk dalam kategori ini adalah ayat yang turun dalam perjalanan hijrah. Sedangkan ayat-ayat Madaniyah adalah ayat-ayat diturunkan setelah hijrah, meskipun turunnya di luar Madinah, termasuk dalam kategori ini adalah ayat-ayat yang turun dalam perjalanan dari Hudaibiyah (Abu Syuhbah, 1992, 198).http://maizuddin.wordpress.com/artikel/bentuk-lahiri-al-quran-kajian-atas-ayat-dan-surat/ - _ftn7
Pada mushaf Usman istilah Makiyyah dan Madaniyyah lebih ditujukan kepada surat-surat al-Qur’an, bukan ayat-ayatnya, meskipun sebenarnya yang menjadikannya surat Makiyyah dan Madaniyyah adalah ayat-ayatnya. Identifikasi yang lebih ditujukan kepada surat-surat dan bukan kepada ayat-ayat dapat diterima dan tampaknya cukup relevan untuk surat-surat pendek yang terdiri dari 3 sampai 10 ayat. Tetapi untuk surat-surat yang panjang tampaknya tidak dapat digeneralisir, karena dalam surat Makiyyah boleh jadi terdapat ayat-ayat Madaniyyah. Dalam surat al-An’am misalnya, yang diidentifikasi sebagai surat Makiyyah terdapat ayat Madaniyyah yang menurut keterangan Ibnu Abbas adalah ayat 151-153. (Manna’ al-Qaththan, t.t: 155).
Kajian kronologis ayat juga menarik perhatian para orientalis semisal Theodor Noldeke, Friedrich Schwally, dan lain-lain hingga menjadi bahan kajian serius. Tetapi, menurut Watt, terdapat perbedaan pijakan utama untuk penanggalan ayat-ayat al-Qur’an oleh mereka dengan para sarjana muslim. Jika sarjana muslim adalah hadis-hadis dan pernyataan para pengkaji al-Qur’an yang belakangan, maka teori kesarjanaan Barat dalam menyusun kronologi surat atau ayat-ayat dilakukan dengan memperhatikan bukti-bukti, yaitu rujukan yang tampak dalam al-Qur’an sendiri. Menurut Watt, pijakan utama sarjana Muslim sangat tradisional dan memilik banyak kelemahan. Ia mengemukakan hadis yang tampaknya tidak kosisten dalam menentukan ayat yang pertama turun yakni hadis Aisyah dan Jabir seperti yang telah dijelaskan di atas. (Watt, 1991: 173-175).
Pernyataan Watt ini tentu tak dapat diterima sepenuhnya. Pertama, sarjana muslim tidaklah mengabaikan bukti-bukti internal dan hanya berpijak pada hadis-hadis atau pernyataan sarjana yang datang belakangan. Hal ini terlihat pada kesimpulan mereka bahwa perbedaan ayat-ayat Makiyyah dan Madaniyyah juga dilihat dari sisi gaya bahasa al-Qur’an, seperti ayatnya pendek-pendek dan berirama. Kedua, Watt tampaknya mengambil kesimpulan atas kajiannya yang belum selesai dan tuntas, atau sama sekali tak pernah melakukan kajian atas hadis Aisyah dan Jabir tersebut, seperti apa yang disuguhkan oleh sarjana-sarjana muslim.
HURUF-HURUF MUQATHTHA’AH
Satu hal yang menjadi ciri khas al-Qur’an adalah adanya huruf-huruf muqaththa’ah (huruf-huruf yang terpisah) yang memulai suatu surat (fawatih al-suwar). Dalam al-Qur’an terdapat 29 surat yang menggunakan huruf-huruf tersebut sebagai pembuka surat. Huruf-huruf ini hanya muncul sekali secara tunggal, namun huruf-huruf ini juga muncul bersama dengan huruf lain sebagai pembuka surat yang lain. Dari 29 huruf hijaiyah, hanya 14 huruf yang digunakan sebagai pembuka surat, yaitu: ا ج ر ع س ص ط ق ك ل م ن هـ ي dalam 29 surat. Dari 14 huruf ini 3 huruf yang berdiri sendiri sebagai pembuka surat, yakni ص pada surat Shad, ق pada surat Qaf dan ن pada surat al-Qalam Sedang selebihnya merupakan kombinasi dari beberapa huruf. Lebih jelasnya perhatikan tabel di bawah ini:
Tabel Fawatih al-Suwar pada Surat al-Qur’an
Fawatih al-Suwar Nama Surat
الم Al-Baqarah, Ali Imran, al-Ankabut, al-Rum, Luqman dan al-Sajadah
المص Al-A’raf
الر Yunus, Hud, Yusuf, Ibrahim, al-Hijr
المر Al-Ra’d
كهيعص Maryam
طه Tha ha
طسم Al-Syu’ara, al-Qashahs
طس Al-Naml
يس Yasin
ص Shad
حم Al-Mu’min, Fushshilat, al-Zukhruf, al-Dukhan, al-Jatsiyah, al-Ahqaf
حمعسق Al-Syura
ق Qaf
ن Al-Qalam
Sebagian orang percaya bahwa huruf-huruf tersebut merupakan simbol rahasia antara si pembicara dengan si pendengar, yaitu Tuhan dan Nabi saw, sebagai suatu yang berada di luar pemahaman orang awam. Contoh ini dapat dilihat pada kode-kode yang disusun antara dua orang yang tidak ingin orang lain mengetahui masalah apa yang mereka bicarakan. Pendapat lain mengatakan bahwa huruf ini adalah nama dari surat-surat yang bersangkutan. Ada juga yang menyatakan bahwa huruf-huruf tersebut merupakan sumpah yang diucapkan atas nama huruf-huruf pendek sebagaimana disebut dalam al-Qur’an nama wujud lain dari ciptaan Tuhan seperti matahari, bulan, bintang, malam, siang dan lain-lain sebagainya (Muthahari, 1992: 42).
Orientalis seperti Hirschfeld, dalam keputusasannya, mencoba menemukan makna huruf-huruf ini. Ia memandang bahwa huruf-huruf tersebut sebagai singkatan dari nama-nama sahabat. Huruf ص adalah singkatan dari nama Hafsah,ك dari nama Abu Bakar, dan م dari Usman. Tetapi, seperti yang dikatakan Watt bahwa penjelasan seperti ini menjadi lebih pelik Sebab untuk surat dua dan tiga yang dimulai dengan huruf dikatakan Hirschfeld sebagai singkatan dari nama al-Mughirah sebagai orang yang mengumpulkannya, dan kenapa pengumpulannya bergantung hanya pada satu orang (Watt: 98).
Tampaknya dari berbagai penafsiran terhadap huruf-huruf ini tak ada yang memuaskan dan tak mempunyai alasan yang cukup kuat. Karena itu penulis menyatakan bahwa huruf-huruf ini tampaknya tetap menjadi huruf-huruf misterius.
PENUTUP
Meskipun terdapat perbedaan pendapat ulama seputar surat-surat dan ayat al-Qur’an baik dari segi jumlah maupun susunan surat-surat atau ayat tidak mengurangi validitas al-Qur’an sebagai wahyu Ilahi yang orisinil.Demikian juga pembagian al-Qur’an ke dalam surat dan ayat yang tidak sama panjang dan pendeknya, surat-surat yang paling pendek sekalipun seperti surat al-Kawtsar yang hanya terdiri dari tiga ayat, tidaklah mengurangi kemukjizatannya. Semua surat-surat al-Qur’an, baik yang panjang maupun yang pendek sama dalam hal kemukjizatannya.
Di sisi lain, perlu dicatat di akhir tulisan ini bahwa sistematika mushaf Usman harus mendapat tempat yang lebih tinggi dari sistematika mushaf pribadi, yang berbeda sistematikanya, karena telah diyakini bahwa sistematika mushaf Usman merupakan ijmak pada sahabat dan telah nyata pula tak ada sahabat yang membantahnya.
http://maizuddin.wordpress.com/artikel/bentuk-lahiri-al-quran-kajian-atas-ayat-dan-surat/ - _ftnref1Tulisan-tulisan yang terdapat pada seorang sahabat belumlah tentu dimiliki oleh sahabat yang lain. Ketika Zaid bin Stabit mengumpulkan kepingan-kepingan pelepah kurma, batu-batu dan tulang-tulang unta yang bertuliskan ayat al-Qur’an, ia mendapatkan akhir surat al-Tawbah hanya pada Khuzaimah al-Anshari dan tidak mendapatkan pada sahabat yang lain. (Manna’ Qaththan, tt: 126; al-Zanjani, 1986: 85).
http://maizuddin.wordpress.com/artikel/bentuk-lahiri-al-quran-kajian-atas-ayat-dan-surat/ - _ftnref2Tampaknya deskripsi tentang Makiyah dan Madaniyah harus dipandang sebagai penilaian para pengumpul al-Qur’an atau sarjana-sarjana yang dulu tentang periode ketika kandungan utama setiap surat diwahyukan. Suatu surat yang diberikan penanggalan Makiyah misalnya dapat berisi satu bagian atau lebih yang berasal dari periode Madaniyah, demikian sebaliknya.
http://maizuddin.wordpress.com/artikel/bentuk-lahiri-al-quran-kajian-atas-ayat-dan-surat/ - _ftnref3Surat-surat yang disebut dengan al-mufashshal disebut juga dengan surat al-muhkam, karena sedikit sekali ayat-ayatnya yang mansukh. Dalam menentukan permulaan surat yang disebut al-mufashshal atau al-muhkam ini terdapat perbedaan pendapat; sebagian pakar ilmu al-Qur’an mengatakan permulaannya adalah surat Qaf, sedang sebagian lagi menyebut surat al-Hujurat untuk permulaannya. (al-Zarqani,1988: I, 352).
http://maizuddin.wordpress.com/artikel/bentuk-lahiri-al-quran-kajian-atas-ayat-dan-surat/ - _ftnref4Penelitian para pakar ilmu al-Qur’an menyimpulkan bahwa fashilah dalam al-Qur’an dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk, seperti fashilah mutamassilah, mutaqaribah, mutawaziyah dan mutawazin. (lebih lanjut lihat Manna’ al-Qaththan, tt: 154).
http://maizuddin.wordpress.com/artikel/bentuk-lahiri-al-quran-kajian-atas-ayat-dan-surat/ - _ftnref5Hadis Aisyah tersebut mengatakan: “Sesungguhnya apa yang mula-mula terjadi bagi Rasulullah saw adalah mimpi yang benar di waktu tidur. Dia melihat dalam mimpi itu datangnya bagaikan terangnya pagi hari. Kemudian dia suka menyendiri. Dia pergi ke gua Hira untuk beribadah beberapa malam. Untuk itu ia membawa bekal… Di gua Hira ia dikejutkan oleh suatu kebenaran. Seorang malaikat datang kepadanya dan mengatakan: “Bacalah!” Rasul mengatakan: “Aku tidak pandai membaca” … kemudian dia berkata: “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan…’ sampai dengan ‘ …apa yang tidak diketahuinya. (Manna’ al-Qaththan, tt: 66)
http://maizuddin.wordpress.com/artikel/bentuk-lahiri-al-quran-kajian-atas-ayat-dan-surat/ - _ftnref6Hadis Jabir tersebut menyatakan: “Ketika aku berjalan, aku mendengar suara dari langit. Lalu aku angkat kepalaku, tiba-tiba yang datang malaikat yang kulihat ketika aku di gua Hira duduk di atas kursi yang terletak di antara langit dan bumi, sehingga aku pun merasa ketakutan sekali. Kemudian aku pulang dan aku berkata: “Selimuti aku; selimuti aku. Lalu Allah menurunkan: “Wahai orang yang berselimut, bangkitlah, lalu berilah peringatan.
http://maizuddin.wordpress.com/artikel/bentuk-lahiri-al-quran-kajian-atas-ayat-dan-surat/ - _ftnref7Terdapat rumusan lain tentang ayat atau surat Makiyyah dan Madaniyyah ini. Sebagian mengatakan bahwa ayat atau surat Makiyyah adalah ayat atau surat yang turun di Mekah walaupun setelah hijrah, sedangkan ayat atau surat Madaniyyah adalah ayat atau surat yang diturunkan di Madinah dan sekitarnya seperti Badar dan Uhud. Rumusan yang lain adalah surat atau ayat Makiyyah adalah ayat-ayat yang khitabnya ditujukan kepada masyarakat Mekah. Sedangkan Madaniyyah adalah ayat-ayat yang ditujukan kepada masyarakat Madinah. (al-Zarqani, 1988: I, 195). Kedua rumusan ini mungkin dapat diterima, tetapi untuk kepentingan identifikasi kronologis yang dibutuhkan untuk kepentingan tafsir al-Qur’an sama sekali tak berarti. Karenanya rumusan yang lebih tepat untuk ini adalah rumusan yang dinyatakan di atas.