Minggu, 03 Januari 2010

BID’AH SEBAGAI ALAT PENJUSTIFIKASIAN GOLONGAN TERTENTU (Studi Kasus di daerah Pesisir Selatan RW 01 Kel.Panjunan Kota.Cirebon)

BID’AH SEBAGAI ALAT PENJUSTIFIKASIAN GOLONGAN TERTENTU
(Studi Kasus di daerah Pesisir Selatan RW 01 Kel.Panjunan Kota.Cirebon)



Disusun Oleh :
NURCHOZIN



KATA PENGANTAR


Alhamdulillah Allah swt, Tuhan segenap alam yang telah memberikan rajmat, inayah, serta pentujuk bagi hamba-hambaNya yang haus akan kebenar, serta sholawat serta salam kita sanjungkan pada penerang umat dan, beliaulah maha guru, sebagai panutan serta suritauladan, beliaulah utusan dan penutup para nabi-nabi Allah, dan mudah-mudahan Allah swt selalu melimpahkan rahmat serta taufikNya pada para sahabat, dan para pengikutnya dan mudah-mudahan kita semua tergolong orang-orang yang selalu mendapatkan rahmat serta petunjukNya.
Disini pemakalah berusaha dengan katerbatasan serta kekurangannya mencoba mempelajari dan mendekati permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam masyrakat yang sudah barang tentu menuntut suatu jawaban, sehingga tidak terpecahnya umat sebagai dampak dari perbedaan atau perselisihan ( konflik ilmu dan konflik social ),
Dan makalah ini adalah diangakat dari studi kasus yang terjadi pada tahun 2006 dan 2009 dengan harapan akan terjadi suatu pencerahan berfikir ketika menghadapi suatu permasalahan yang ada dan makalah ini juga sebagai tugas matakuliah yang memang mengharuskan adanya kajian-kajian, yang tidak menutup kemungkinan akan terjadi juga konflik di daerah-daerah lain, minimal kita dapat memposisikan diri sebagai penengah dalam pemecahan masalah sehingga tidak terjadi lagi perpecahan umat, yang notebene al-Muslimu Akhul Muslim.












BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama petunjuk baik secara makro ataupun mikro, baik secara general maupun spesifik, baik secara eksplisit maupun implicit, baik secara muhkamat ataupun mutasyabihat, baik secara absolute maupun relative, dan baik secara tekstul maupun kontekstual itulah teks ilahi yang sarat akan beberapa ketentuan-ketentuan hidup yang mempunyai norma-norma, nilai-nilai pengetahuan dan mengandung prinsip-prinsip dasar dalam pencapaian sebuah kebanaran dan yang tidak pernah mengabaikan hasil pemikiran manusia sepanjang tiadak memusyrikan ke-esaan-Nya, dan Islamlah sebuah agama yang menjungjung posisi akal selagi pada konsep-konsep Qur’ani dan sunnah yang siap akan bersentuhan dengan problematika kehidupan yang kofrehensip dan plural.
Meminjam dari istilahnya Prof. Dr. Harun Nasution dalam “ Islam Rasional “ al-Qur’an sendiri tidak berbicara tentang system, disinilah peran akal yang diciptakan oleh Allah untuk mengeluarkan kandungan al-Qur’an, dari al-quran sendiri kurang membicarakan system, pada akhirnya akan melahirkan nilai-nilai peradaban/pemikiran yang bersifat kondisiolnal dari kajian-kajian itu sendiri, artiya islam sendiri tidak akan pernah habis bersentuhan langsung dengan problematika kehidupan yang komplek, yang penting tidak menyimpang pada ketentuan-ketentuan apa-apa yang diisaratkan dalam al-Qur’an maupun sunnah.
Kembali pada isalm sendiri, dalam hal ini al-Qur’an sering dan masih dijadikan rujukan /penelitian dalam studi keislaman baik secara nasional maupun internasional, dengan kata lain biarkanlah al-Qur’an menjadi subyek ataupun obyek dalam suatu kajian sehingga tidaklah heran akan membuahkan pemikiran yang subyektif dan obyektif pula, barangkali inilah keunikannya al-Qur’an sebagai epistimologi ilmu pengetahuan, sekalipun asumsi ini dibantah oleh sekte-sekte filsafat tertentu, pada akhirnya al-Qur’an sendiri mampu menjawab berdasarkan kebutuhan yang diinginkannya.
Abstraksi ini diharapkan akan memunculkan /menghadirkan pemikiran-pemikiran yang dalam-koprehensif sehingga ada kegairahan dalam mengkaji khasanah keislaman, minimalnya dalam kajian tersebut kita mengetahui permasalahan-permasalahan dan memberikan kontribusi dalam penyelesaian suatu permasalahan, hal itulah menjadi tugas para sarjana lulusan perguruan tinggi islam agar mamapu mengaplikasikan dan melibatkan diri/ memposisikan keilmuannya di tengah-tengah masyarakat yang notabene majemuk.
Dilihat dari kebutuhannya kajian keislaman mempunyai tujuan :
1. untuk pendalaman dan pengamalan ajaran islam dengan benar baik personal, bermasyrakat ataupun bernegara, baik kajian itu dilakukan dimasyrakat, pesantern, maupun di akademisi.
2. unutk kepentingan para orientalis ( islamolog ) dan kajian ini dilakukan oleh orang- orang barat, baik untuk tujuan penjajahan/missionaries ataupun semata-mata untuk kepentingan keilmuan
gambaran tersebut diatas penulis semampu mungkin mendekati islam dengan bantuan beberapa pendekatan, guna untuk menangkap beberapa kesan dari kandungan al-Qur’an itu sendiri, sehingga diharapkan agar mampu menyelesaikan problematika kehidupan yang terjadi begitu komplek di tengah-tengah masyarakat, dan mampu manjaga nilai-nilai transendetal dari agama itu sendiri.
Latarbelakang masyarakat pesisir era tahun tujuh puluhan disesuaikan dengan masa kecil ( masa SD ) pemakalah, pada masa era tersebut dari sudut pandang ekonomi, mengalami surplus dengan hasil laut yang spektakuler, dan dari kacamata pandidikan, keagamaan mengalami keprihatinan karena para orang tua berasumsi : “ percuma sekolah yang penting bagaimana mencari uang “ dampak langsung : banyak anak-anak yang tidak sekolah, dalam bidang keagamaan masyarakat pesisir kurang sekali tertarik ( satu musholah ) dan pada masa itu, dan WTS menjadi bursa, tidak ada perpindahan penduduk yang masuk ke pesisir, syiar agama dilakukan oleh dua-tiga orang, dari gambaran singkat diatas adalah benar muncul prilaku-prilaku radikal.
Diawal ERA delapan puluhan dicabutnya PP tentang larang penangakapan dengan pukat hairmau, terjadi krisis ekonomi local, timbul kesandaran pada masyarakat walaupun belumlah banyak, dalam era delapan puluhan sarana beribadah menjadi 1 masjid, 2 musholah, anak-anak mulai sekolah madrasah, inilah awal sebuah kebangkitan.
Dekade sembilan puluhan bayak tokoh-tokoh masyarakat mulai tumbuh kesadaran beragama dan terdapat 2 masjid 6 musholah, dipenghujung tahun sembilan puluhan datanglah pendatang baru dengan membawa ajaran dengan senjata “ ahli Bi’ah dholalah- dholalah adalah neraka”, keprihatinan yang mendalam ketika kesadaran masyarakat mulai mekar dengan bagus, berubah dan membingungkan, terlebih ketika anak seorang RT mengaji pada golongan pendatang, disini kami istilahkan golongan eksklusif, berani mengatakan haram dan neraka ketika pak RT ( bapaknya ) sendiri sedang mengaji yasin pada neneknya.
Klimak permasalahan ketika khutbah menghujat dan mengkafirkan pada tahun 2006 dan peristiwa 2009 sekitar bulan juli yaitu pembangunan masjid dan TPA dengan jarak kira-kira 50 meter dari masjid yang lain, protes masyarakat keras sampai Depag hamper kualahan.

B. Rumusan Masalah
Dari permasalahan diatas pemakalah mencoba mengangkat sebab-sebab terjadi hukum pengkafiran pada sesame muslim , apabila :
1. melaksanakan tahlilan, tawasulan dan yasinan pada orang meninggal
2. membaca al-barjanji dan diba-an
3. memperingati maulid nabi, isra-mi’raj, nuzulul-qur’an
4. ulama-ulam yang mengamalkan atau yang menganjurkan amalan pada nomer 1, 2 dan 3 adalah sesat dan harus dimasukan ke dalam tong sampah.


















BAB II
PEMBAHASAN

Dari studi kasus diatas, ada beberapa perbedaan cara pandang dalam mendekati permasalahan sudah barang tentu akan membuahkan hasil pemikiran ( hukum ) yang berbeda pula, disini pemakalah akan membatasi permasalahan yaitu tentang mengirimkan doa pada yang meninggal atau amalan sesuatu yang pahalanya ditujukan pada yang telah meninggl, karena pada hakekat bobot permasalahan diatas no, 1, 2, dan 3 sama berkisar tentang bi’ah itu dolalah adalah sesat, sesat adalah neraka.
Bukankah al-qur’an kita sama, bukankah nabi kita sama ? apakah yang menyebabkan kita berbeda dalam kesimpulan hasil akhir ?
Perbedaan disini nampaknya bermuara dari bagaimana :
1. mendefinisikan bid’ah
2. cara memahami al-qur’an
3. cara memahami hadist dan sunnah
4. metode atau kerangka berfikir

A. Pengertian Bid’ah
Bid’ah secara syar’I : semua perkara yang diadakan dengan tanpa menyalahi nash dan hukum syari, contoh : menambahkan / mengurangi bilangan roka’at pada sholat.
Bid’ah secara bahasa : semua perkara yang diadakan dengan tanpa contoh yang mendahuluinya, berdasarkan makna bahasa yang bersifat umum ini wajiblah diterapkan hadist “ Man Sanna Fil Islaami Sunnatan Hasanah….. seperti hadist yang diatas, dan makna bahasa ini mencakup bid’ah dholalah dan dan bid’ah maqbulah ( diterima ) yaitu perkara baru yang diadakan dengan tanpa menyalahi nash dan pokok syariah dan adanya mashlahat yang sesuai dengan syariah.
Lain hal dengan hadist : Man Ahdasta Fii Amrina Hadza Maa Laisa Minhu Fa Hua Roddun ( barangsiapa yang mengada-ada kan dalam urusan agama kami, sesuatu yang bukan darinya, maka dia tertolak.
Garis besarnya : “ kullu bid’atin dholaalah di gunakan untuk bid’ah secara syar’I yaitu perkara baru yang menyalahi syar’I, sedangkan hadist : man sanna fil islaami sunnatan hasanah….” Digunakan bid’ah secara bahasa yang umum meliputi dua pengertian :
1. segala perkara yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syareat adalah mazmum ( tercela ).
2. segala perkara yang tidak bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’ah adalah maqbul ( diterima ).
Menggabungkan beberapa dalil yang kontradiktif selalu mendapatkan perhatian yang dalam dari para ulama sehingga dalil-dalil tersebut bias terpakai sesuai dengan maksudnya masing-masing

B. Orang Pertama Yang Melakukan Pembagian Bid’ah
Nabi kita Muhammad saw adalah orang yang pertama kali pada bid’ah hasanah dan sayyiah, atau bid’ah mardudah atau maqbulah, bid’ah lughowiyah atau bid’ah syar’iyyah, berdasarkan hadist riwayat Muslim :
“ Barangsiapa menciptakan satu gagasan yang baik dalam islam, maka dia memperoleh pahalanya dan juga pahala orang yang melaksanakannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun. Dan barangsiapa yang menciptaka gagasan yang jelek dalam islam, maka ia akan terkena dosanya dan juga dosanya orang yang mengamalkannya denga tanpa dikurangi sedikitpun”.

Dari hadist tersebut diatas tampak dengan jelas nabi kita mensyariatkan prakarsa yang baik pada masa apapun dengan tanpa batas.
Menurut mayoritas ulama, sumber-sumber syar’iat itu tidak terbatas pada nash, meliankan meliputi semua thuruq ( metode ) dan usul-usul ( pokok-pokok ) yang disimpulkan oleh para ulama dari nash-nash syari’at.
Dikarnakan prakarsa baru atau bid’ah itu memiliki makna khusus yang bersifat syar’i ( keagamaan ) dan makna umum yang bersifat lughowi ( argument ulama syafiiah : 42-46 )

C. Tidak Semua Dalil Umum Dimaknai Umum

Memang hadist nabi “ kullu bid’atin dholaalah” itubersifat umum namun demikian tidak semua dalil baik al-qur’an maupun hadist dimaknai umum pula, hal itu ditentukan ada tidaknya dalil-dalil lain atau qoroo’inul ( indikasi-indikasi ) yang menolak akan keumumannyasendiri, yang seperti itu banyak sekali didapatkan : An-Naml : 23,
“ wa uutiyat min kulli syai-in” “ Ratu Bulqis itu telah diberikan segala sesuatu “ mafhumnya : namun demikian Ratu Bulqis tidak diberi singasana dan kekuasaan seperti yang diberikan pada nabi Sulaiman As.
Qur’an Surat Al-Kahfi : 79 : wa kaana waroo-ahum malikun ya’khudzu kulla safiinatin ghoshban “ Dibelakang mereka yang miskin itu terdapat seorang raja yang suka merampas semua perahu”, lafad pada semua perahu ini tidak terpakai karena sang hanya suka merampas perahu yang baik-baik saja, karena itu Khidhir sengaja membocorkan perahu-perahu oarng-orang miskin agar perahunya terlihat jelek, sihingga perahunya tidak ikut dirampas.
Mari kita amati dan pelajari salah satu ayat :” Kullu nasfin dzaa-iqotul maut “ yang artinya : “ setiap yang bernyawa itu pasti mati “ mereka ( golongan yang gemar melontarkan tuduhan bid’ah ) mengatakan lafad kullu pada firman Allah swt harus diartikan setiap yakni bersifat umum kalau tidak demikian, lafad kullu dapat diartikan : sebagian maka akan timbul makna : Sebagian Yang Bernyawa Akan Merasakan Mati . Begitupula pada hadist kullu bid’atin dholaalah fin-Nar.
Mereka mengajukan ayat diatas untuk memperkuat atas tunduhanya bid’ahnya, jelas termasuk punya wawasan agamanya sempit dan tidk mengetahui kaidah-kaidah mantiq, mereka mengartikan lafad kullu harus diartikan umum.
Pada hal kullu dalam ilmu mantiq ada 2 macam :
1. Kullu Majmu : berarti sebagian atau sekumpulan bukan berarti setiap atau keseluruhan, inilah yang dimaksud kulli
2. Kullu Jami’ yang berarti setiap atau keseluruhan, inilah yang kulliyah, oleh karenanya ayat yang diatas memakai kullu jami’berarti setiap yang bernyawa pasti mati karena ditunjang dengan ayat lain, tidak bias dengan kullu majmu yang berarti sebagian

D. Definisi Hadits
Definisi hadits memang berbeda-beda, sebagian ulama berkata bahwa hadits adalah segala sesuatu dinisbatkan kepada Nabi Saw. Meliputi perkataan, perbuatan, atau ketetapan termasuk sifat yang berkaitan dengan akhlak Nabi dan berkaitan dengan fisik Nabi baik sebelum diutus menjadi Rosul maupun sesudahnya. Definisi tersebut dianut oleh ulama ahli hadits dengan asumsi bahwa Nabi Saw. Adalah uswah hasanah ( Figur ) – dijadikan sauri tauladan hidup. Namun ulama ushul fikih justru berkata lain tidak semua yang dinisbathkan kepada Nabi dapat disebut sebagai hadits, menurut mereka yang disebut hadits adalah segala yang keluar dari Nabi selain al-Qur’an, baik berupa ucapan, perbuatan, atau ketetapan yang layak untuk dijadikan dalil bagi hukum Syara, sehingga ucapan dan perbuatan Nabi yang berkaitan dengan posisi beliau sebagi manusia biasa atau dengan yang berkaitan dengan tradisi Arab. Mereka juga berbeda dalam menyebut istilah hadits dan sunnah, umumnya ulama ahli hadits menyamakan istilah hadits dengan sunnah sementara ulama ushul fikih lebih sering menyebut istilah sunnah dengan hadits.

E. Fakta Dilapangan Dan Bagaimana Menyikapinya
Membaca al-Qur’an kepada orang yang sudah meninggal adalah suatu kegiatan yang hamper tidak pernah dilupakan oleh mayoritas orang muslim khususnya di Indonesia, disini biasanya membaca surat al-Ikhlas, al-Falaq, an-Nas, al-Fatihah dan al-Baqoroh ada juga yang melakukan diatas kuburan ada juga yang membaca di rumah-rumah atau di musholla-musholla, inilah masalah khilafiyah ada yang pro dan ada yang kontra. Hujjah Ahli sunnah wal jama’ah ( hal : 8 ) yang artinya ‘’ tidak sepantasnya terjadi diantara dua yang berbeda pendapat tersebut sesuatu yang tidak layak terjadi antara dua muslim karena keduanya mempunyai sandaran hukum masing-masing.
1. Dalil-dalil hadiah pahala bacaan
a. Hadits tentang wasiat Ibnu Umar syara akidah thohawiyah hal : 458 yang artinya dari Ibnu Umar ra. : bahwasannya beliau berwasiat agar diatas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibaca awal-awal surat al-Baqoroh dan akhirnya, dan dari sebagian Muhajirin dinukil juga adanya pembacaan surat al-Baqoroh.
b. Hadits ini pegangan Muhammad Bin Hasan dan Imam Ahmad Bin Hambal padahal Imam Ahmad termasuk orang yang mengingkari sampainya pahala dari orang yang hidup kepada orang yang sudah mati, namun setelah beliau mendengar dari orang-orang kepercayaan tentang wasiat Ibnu Umar tersebut beliaupun mencabut pengingkarannya itu ( Mukhtasyar Tazkiroh Kurtubi hal: 25 )
c. Hadits dalam sunan Baihaqi dengan Isnad Hasan :Yang artinya bahwasannya Ibnu Umar menyukai agar dibaca diatas pengkuburan sesudah pemakaman awal surat al-Baqoroh sampai akhir.
d. Hadits riwayat Daruqutni : artinya barang siapa masuk ke perkuburan lalu membaca surat al-Ikhlas 11 kali kemudian ia menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang mati disitu.
e. Hadits riwayat Abu Daud, Nasa’i, Ahmad dan Ibnu Hibban : dari Ma’qil bin Yasar ra. Nabi Saw bersabda : Bacakanlah surat Yasin untuk orang-orang yang mati diantara kamu. ( Argumentasi Ulama Syafi’iyah H. Mujiburrohman hal. 144 )
2. Fatwa Ulama
a. Imam Ibnu Taimiyah : Sesungguhnya Mayit itu dapat beroleh bacaan al-Qur’an sebagaimana dia beroleh manfaat dengan ibadah-ibadah kebendaan seperti sedekah dan lainnya (Yasaluunaka fiddin wal Hayaat jilid 1-442 ).
b. Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah : sesuatu yang paling utama dihadiahkan kepada mayyit adalah sedekah, istighfar, berdoa untuknya dan berhaji atas nama dia. Adapun membaca al-Qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada si mayyit dengan cara sukarela tanpa imbalan, maka akan sampai kepadanya sebagaimana pahala puasa dan haji juga sampai kepadanya. ( Yasaluunaka fid din wal-hayat jilid 1/442 )
3. Dalil Orang Yang Membantah Adanya Hadiah Pahala
a. Hadits Riwayat Muslim : ‘’ Jika manusia meninggal maka terputuslah amalnya kecuali 3 yaitu sedekah jariyah, ilmu bermanfaat dan anak yang sholeh selalu mendoakan orang tuanya. Kata-kata inqotho’a amaluhu ( putus amalnya ) menunjukan bahwa amal-amal apapun kecuali yang tiga diatas yang sampai ke mayyit
b. Firman Allah SWT dalam surat An-Najm : 39 artinya tidaklah ada bagi seseorang itu kecuali apa yang diusahakan.
Jawaban dari yang menggunakan hadits riwayat muslim Dalam syarah Thohawiyah hal : 456 ‘’Sangatlah keliru berdalil dengan hadits tersebut untuk menolak sampainya hadiah pahala kepada yang meninggal karena dalam hadits tersebut tidak dikatakan inqoto’a intifa’uhu ( terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat ) sementara hadits tersebut diatas hanya mengatakan terputus amalnya.



BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Dari beberapa pemaparan makalah diatas bias ditarik beberapa kesimpulan, yaitu sebagai berikut :
1. Perbedaan adalah rahmat
2. Bahwa mendekati al-Qur’an sangatlah luas kandungannya maka dari itu janganlah menhukumi hal yang masih khilafi.
3. Pandainya atau cerdasnya ilmu seseorang tanpa dihiasi dengan akhlak maka hilanglah manfaat dari ilmu itu sendiri sehingga mengarah pada suatu kehancuran.
4. Rosulullah sendiri tidak pernah menghukumi kafir pada umatnya.





















DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar